AKAS
Gue masuk ke rumah. Melewati ruang tamu, ruang tv, dan terakhir langkah gue tertahan di ruang makan. Ada Mama yang sedang menata piring dan Selsa-yang tanpa merasa perlu membantu-sedang mengotak-atik ponselnya."Pulang malam, Kas?" Itu adalah pertanyaan yang membuat gue menghampiri Mama sekarang. "Bukannya nggak ada jadwal bimbel, ya?" tanyanya lagi.
"Ekskul basket," jawab gue singkat.
Mama meraih tas gue dan membukanya, memeriksa isinya. "Kamu nggak bawa baju basket." Matanya menyelidik.
"Dipinjem temen, basketnya nggak jadi." Jadinya ke rumah Shafay, ngobrol sama Ayah dan abangnya. Tapi gue nggak akan menjelaskan hal itu.
Mama mengembalikan tas gue. "Nilai-nilai evaluasi kamu di tempat bimbel udah keluar. Besok kita dijadwalkan untuk bertemu dan konsultansi sama Bu Dewi. Apa saja yang kurang, aspek apa yang harus ditingkatkan, dan pelajaran apa yang harus lebih kamu dalami, agar kamu bisa masuk ke kedokteran nantinya."
Sesuai dengan cita-cita Bagas. Gue menarik sebelah tasli tas dan menggantungkannya ke bahu.
Selsa berhenti memperhatikan ponsel, menatap gue. Gue bisa menangkap rasa iba di matanya.
Mama meraih sendok dari tengah meja, menyusunnya di samping piring. "Kamu harus pertahankan prestasi kamu di sekolah. Tetap jadi nomor satu."
Seperti Bagas. Gue mengangguk.
"Kurangi main-main, Kas. Kamu udah kelas XI, nggak seharusnya-"
"Ma." Selsa memotong kalimat Mama. "Bang Akas pasti capek, Ma. Biarin Abang istirahat, mandi dulu." Dia menatap gue, lalu mendorong lengan gue, menyuruh untuk segera pergi.
"Ya udah, kamu mandi. Nanti turun untuk makan malam, ya. Papa juga udah pulang, lagi mandi," ujar Mama akhirnya.
Gue menatap Selsa, dan dia tersenyum. Dia tahu gue sedang berterimakasih barusan. Langkah gue terayun cepat, melewati anak tangga, berpapasan dengan Papa dan segera menyapanya, "Malam, Pa." Tanpa merasa perlu berhenti dan menunggu balasan gue meneruskan langkah.
Di puncak tangga, gue berhenti, menatap kamar Bagas. Selain urusan dengan Shafay, Bagas juga membuat gue banyak berurusan dengan Mama. Gue kadang membencinya, kenapa dia seenaknya melimpahkan semua masalah ini untuk gue? Namun, berkali-kali gue bilang kalau gue membenci semua ini, tanggapan dari Bagas nggak bisa gue harapkan. Dia hanya tersenyum, membuat gue luluh lagi. Untuk tetap menyelesaikan urusan dengan Mama dan juga ... Shafay.
Shafay. Shafay. Shafay. Gue menarik napas. Mengulang namanya. "Ingetin gue kalau gue terlalu masuk ke dalam urusan lo dan Shafay," bisik gue pelan. "Ingetin juga, kalau-kalau gue khilaf dan terlalu menikmati peran gue ini."
***
SHAFAY
"JADI, INTI DARI CERITA PANJANG-LEBAR LO INI APA?" tanya Laras dengan mata melotot dan wajah antusias."Biasa aja!" Fadia yang berjalan tepat di samping Laras mungkin merasa terganggu dengan ekspersi wajah berlebihan itu, sehingga dia mendorong wajah Laras.
Aku menceritakan kedekatanku dengan Akas akhir-akhir ini. Nggak terkecuali pertolongan Akas ketika aku dikerjai anggota marching band saat ulang tahun kemarin. Semua kuceritakan dengan detail, sebelum mulut Pandu menyebarkan semuanya. Namun, satu, nggak tentang ciuman itu, nggak ada yang boleh tahu tentang hal itu.
"Fad, lo nggak tahu kan seberapa penasarannya gue? Seberapa nggak sabarnya gue denger cerita Shafay daritadi untuk nanya-" Laras menarik napas panjang, mengeluarkan perlahan, lalu menatapku,"-hubungan lo sama Akas sekarang apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Teen Fiction-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...