Aksioma #18

73K 6.9K 1.1K
                                    


AKAS
Saat bel istirahat berbunyi, Pandu segera menarik tangan gue untuk ke luar kelas, membuat kami sempat terjepit di antara para cewek di depan kelas. Bukan modus, katanya. Dia benar-benar lapar karena tadi pagi nggak sempat sarapan.

Saat di kantin, gue berpapasan dengan Shafay dan dua temannya. Mereka sedang kebingungan mencari tempat duduk, tapi gue berusaha nggak menghiraukannya. Setelah mendapatkan sepiring batagor dan sebotol air mineral, gue segera menghampiri meja yang sudah ditempati oleh teman-teman gue. Pandu sedang serius makan, sementara Garda dan Davin masih memainkan ponsel menunggu kedatangan gue.

Baru saja gue meletakan piring dan botol di atas meja, Pandu tiba-tiba bersuara, "Shafay, nyari tempat duduk?" tanyanya saat Shafay dan dua temannya melewati bangku kami. Padahal tadi Pandu sedang menunduk, khusyuk dengan makanannnya, tapi dia benar-benar nggak mau melewatkan Shafay begitu saja, ya. "Sini, mau duduk di sini? Bareng-bareng aja," tawarnya.

Shafay menatap gue sejenak dan gue segera menghindari tatapannya. "Nggak usah, masih banyak tempat kosong, kok," jawab Shafay, lalu mereka berjalan ke arah sudut kanan kantin.

Pandu berdecak. "Kok, nggak godain Shafay sih, Kas?" tanyanya pada gue.

Gue mengaduk-aduk bumbu kacang di piring, pura-pura nggak dengar.

"Tadi di kelas juga waktu Shafay nyamperin, dia malah pura-pura sibuk," ujar Garda.

Gue nggak menyangka bahwa teman-teman gue seperhatian itu.

"Ada masalah?" tanya Davin.

Gue menggeleng, mulai melahap makanan di jam istirahat singkat yang gue punya ini daripada menggosipkan diri sendiri di depan ketiga teman gue.

"Bohong. Nggak biasanya." Pandu menudingkan sendok ke arah gue.

Gue menatap Pandu. "Emang biasanya gimana?" tanya gue seraya membuka segel botol air mineral.

"Biasanya lo asyik kalau diajak becandain Shafay," jawab Pandu.

"Dan gue juga penasaran tadi di kelas Shafay mau ngomong apa sama lo." Garda menatap gue serius sambil mengunyah.

"Lo bosen sama Shafay?" tanya Pandu Si Otak Kopong. Semudah itu dia menerka apa yang terjadi pada gue.

Gue mengangkat bahu, lalu minum. Sebenarnya, gue ingin sekali menggebrak meja sekarang, sambil bilang, Udah, kek! Ngomongin Shafay mulu!

Mereka nggak tahu kalau dari kemarin, di dalam kepala gue isinya cuma ada nama Shafay, sampai semalaman susah tidur. Dan ketika bangun, nama pertama yang gue ingat masih Shafay. Iya, mungkin gue memang secengeng itu. Gue juga baru tahu.

Kalau gue menuruti keinginan yang sebenarnya, rasanya gue ingin bicara berdua dengan Shafay, bertanya, apa yang harus gue lakukan sekarang? Gue mungkin sudah menyukainya, dari jauh-jauh hari, tanpa menyadari hal itu, tanpa tahu hal itu akhirnya akan membuat gue kebingungan. Karena ..., desakan untuk mengutarakan perasaan yang sebenarnya benar-benar sangat mengganggu, saat gue ingat Bagas, juga tentang catatan Bagas yang semalam gue baca. Rasanya pilihan itu terlalu egois.

Kenapa gue belum berani mendekati Shafay? Karena gue belum siap melihat dia  mengenal Akas. Seperti halnya gue melihat Dania, dulu.
-Bagas-

Gue nggak mungkin melakukannya untuk ke-dua kali, kan?

"Eh! Gue nanya, lo bosen sama Shafay? Lo mikir apa berak, sih? Lama amat jawab gitu doang!" Pertanyaan Pandu barusan membuat gue tersadar dari lamunan dan mendapati batagor di piring sudah acak-acakan. Kurang melankolis apalagi? Gue melamun sambil mengacak-acak makanan pakai garpu. "Kalau lo udah bosen, siap-siap gue tikung nih, ya," ancamnya.

AksiomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang