SHAFAY
Tiba-tiba rasa lapar terus-menerus mengetuk perutku. Aku menunggu bel istirahat berbunyi, rasanya lama, padahal tinggal sepuluh menit lagi jam pelajaran habis. Pelajaran Matematika ditempatkan tepat sebelum bel istirahat itu kayaknya nggak cocok banget, deh. Karena sejak mata pelajaran ini dimulai, aku nggak berhenti menengok jam yang melingkar di tanganku.Jadi pelajaran Matematika cocoknya ditempatkan di jam ke berapa? Ng...., yang jelas jangan di jam pertama, karena waktunya mepet kalau mau menyontek PR. Jangan sehabis upacara juga, karena keringat sisa upara nggak baik diajak bekerjasama untuk belajar Matematika. Di jam terakhir juga jangan, karena aku nggak akan bisa berhenti menguap dan Bu Silma nggak suka itu. Jadi jawabannya, bagiku pelajaran Matematika mau ditempatkan di mana saja itu tetap nggak ada cocok.
Ayaaahhh, kenapa aku diciptakan bodoh dalam pelajaran Matematika? Bawaannya ingin pura-pura ke toilet kalau Bu Silma sudah lirik-lirik ke arah siswa setelah memberi soal begini.
"Jadi, ada yang sudah selesai mengerjakan soal ini?" tanya Bu Silma. Dia mendorong kacamatanya, menatap tajam semua siswa yang sepertinya sama-sama sedang menahan napas, karena tiba-tiba suasana begitu hening sampai nggak terdengar suara apa pun. "Diketahui f(x) sama dengan negatif dua dikurangi tiga x per dua. Yang ditanyakan inversnya." Tatapannya kembali menyapu seluruh penjuru kelas. "Shafay?"
Aku benar-benar berhenti bernapas, degup jantungku berantakan, lebih berantakan daripada ditatap Akas. "Ya, Bu?" gumamku.
"Sudah selesai?" tanyanya.
Laras meremas tanganku, seolah sedang berusaha menyalurkan kekuatan, tapi itu sama sekali nggak memberikan pengaruh apa pun untukku. "Belum, Bu," jawabku dengan wajah meringis.
"Bu Dela bilang kamu pacaran sama Akas, masak Akas nggak pernah ngajarin kamu?" tanya Bu Silma sambil berlalu ke mejanya untuk membuka buku absen.
Dehaman kencang dari seisi kelas saling bersahutan, seolah menyerangku dari segala arah. Namun, aku juga harus merasa beruntung kali ini, karena di pelajaran Bu Silma nggak akan ada yang berani mengeluarkan celetukan menyebalkan. Sementara ini mulut Pandu dan teman-temannya aman.
"Kalau gitu, pacarnya saja. Akas, ke depan. Nggak ada yang bisa diharapkan selain kamu sepertinya," ujarnya putus asa. Lagi pula, biasanya Bu Silma nggak pernah menyuruh siswa lain selain Akas untuk mengerjakan soal sulit seperti ini. Kali ini beliau iseng banget memanggil namaku yang jelas-jelas nggak bisa diharapkan ini hanya untuk memberitahu seisi kelas tentang gosip nggak benar itu.
Akas berjalan ke depan kelas, mengambil spidol di kotaknya dan mulai menuliskan soal.
"Jelaskan sama teman-teman kamu," suruh Bu Silma.
Akas menghadap ke arah kami, tatapannya tertuju padaku sekilas, makin saja isi dadaku nggak keruan. "Jika kalian menemukan fungsi f(x) sama dengan ax ditambah b per cx ditambah d, maka inversnya adalah negatif dx ditambah b per cx dikurang a." Dia menuliskan rumusnya di papan tulis. Sesaat kemudian dia kembali berbalik, kembali menjelaskan penyelesaian soal. "Maka invers dari fungsi f(x) sama dengan negatif dua dikurangi tiga x per dua adalah ...."
Suara Akas semakin lama semakin kabur dari pendengaranku, daun telingaku seolah menutup sendiri. Yang bekerja saat ini hanya mataku, melihat Akas yang tampak jelas memiliki kemampuan luar biasa dalam mengerjakan soal, dia menjelaskan dengan suara yang begitu yakin. Aku melihat jakunnya naik-turun saat dia menelan ludah untuk menjeda penjelasan, membuatku ikut menelan ludah, entah kenapa. Matanya menatap ke sekeliling, ketika bertubrukan dengan mataku, aku seolah-olah kembali disadarkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Teen Fiction-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...