***
SHAFAY
Aku baru selesai mengikat rambut di depan cermin, lalu menarik tali tas yang sudah kusiapkan di atas meja belajar. Saat langkahku akan terayun ke luar kamar, aku melihat laci meja sedikit terbuka, salah satu surat yang ditulis pada kertas merah muda menyembul keluar di sana.
Aku menghampiri lagi meja belajar, membuka laci untuk membenarkan posisi surat-surat itu, surat yang ternyata dikirim oleh Bagas, datang bersama apel-apel merahnya, yang entah kenapa kubaca ulang semalam.
Aku tersenyum, membayangkan Bagas menulis surat-surat itu untukku. "Makasih, ya, Gas," gumamku seraya merapikan surat dan menutup laci. Lain kali, akan kuceritakan isi surat-surat itu. Sekarang, aku buru-buru harus berangkat ke sekolah.
Aku keluar dari kamar, menuju meja makan. Ada Ayah yang sedang duduk bersama secangkir kopi di hadapannya dan Bang Sultan yang sedang menuangkan susu kotak ke gelas.
"Pagi, pagi," sapaku.
Bang Sultan menoleh, lalu menyengir. "Widih, sembuh mata bengkaknya, nih?" godanya.
Aku melewatinya, mencubit pinggangnya sambil lalu sampai dia tersedak karena sedang meminum susu yang baru saja dituangnya tadi.
"Fay, bercandanya jangan kelewatan," ujar Ayah. Beliau menatapku sebentar, lalu kembali menatap layar ponselnya.
Bang Sultan menjulingkan matanya sambil menjulurkan lidah kepadaku.
Aku mengabaikannya, lalu menatap meja makan yang kosong. Tatapanku teralih ke arah dapur sekarang, tempat yang selalu sepi dan akan tetap bersih selama Bang Sultan dan Ayah nggak mengacau untuk membuat mie instan, nasi goreng, atau telur orak-arik andalannya.
Bang Sultan menuangkan susu kotak ke gelas kosong dan menyerahkannya padaku. "Minum, nih."
Aku menatapnya curiga. "Lo masukin upil dulu, ya?"
"Iya. Biar lo nggak songong terus ke gue," jawabnya sambil duduk setelah menarik kursi, lalu memainkan ponselnya.
Aku menggeser gelas yang diberi Bang Sultan tadi, lalu duduk di sampingnya. Sekarang, tatapanku tertuju pada Ayah yang duduk di hadapanku. Ayah masih sibuk dengan ponselnya, mengabaikan kopinya yang sudah nggak lagi mengepulkan uap panas. Aku akan meminum susu yang dituang Bang Sultan, tapi niatku batal saat melihat Ayah tersenyum sambil mengusap layar ponselnya.
Aku berdeham, membuat Bang Sultan dan Ayah mengalihkan perhatiannya padaku. "Akhir-akhir ini Ayah sibuk banget, ya?" tanyaku.
Ayah mengangguk-angguk cepat. "Iya, akhir bulan kerjaan Ayah banyak banget yang-"
Aku tahu memotong ucapan orangtua adalah perbuatan yang nggak sopan, tapi rasanya aku nggak bisa menahan lagi rasa penasaran ini. "Nggak cuma akhir bulan kok, pertengahan bulan juga, awal bulan juga. Jadi sebenarnya ayah setiap saat sibuk banget." Dan aku juga sering melihat Ayah menerima telepon, berbincang dengan seseorang, pada malam hari di halaman belakang.
Ponsel Ayah yang tadi ditaruh di atas meja kembali bergetar singkat, mungkin ada satu pesan masuk. Tangan Ayah hendak meraihnya, tapi terlihat ragu, Ayah malah menatapku sekarang.
"Setiap waktunya pulang kantor, telepon Ayah selalu sibuk. Padahal aku cuma mau nanya Ayah mau makan apa? Atau Ayah lembur nggak hari ini? Atau...." Aku menatap Ayah lagi. "Ayah juga udah nggak pernah jemput aku lagi sekarang kalau aku pulang sore."
Ayah tersenyum. "Ayah kan udah bilang, Sayang. Ayah akhir-akhir ini-"
"Sibuk?" potongku. "Dulu juga Ayah sibuk, kok. Tapi masih sempat jemput aku pulang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Fiksi Remaja-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...