Aksioma #22

60.1K 6.2K 781
                                    



SHAFAY
"Dah, Fay!" Liana melambaikan tangan saat kami sudah keluar dari aula. Dia sudah ditunggu oleh Kak Fares, kakak kelas di XII IIS yang akhir-akhir ini gencar mendekatinya.

Aku membalasnya dengan lambaian serupa dan senyum. Hari ini Mario sedang berbaik hati mempersilakan kami pulang duluan tanpa harus membereskan peralatan marching band, katanya sudah kelewat sore. Karena hari festival sudah semakin dekat, jam latihan kami menjadi lebih lama dari biasanya.

Dan sekarang, aku sedang berjalan ke luar gedung sekolah, menuju halaman sekolah sambil menatap layar ponsel.

"Keterlaluan." Aku menggeleng heran saat melihat akun Halal Ketawa mengunggah sebuah video Kak Yugo yang sedang mengusap ketiaknya dengan kaus olahraga. Banyak komentar-komentar yang mengejeknya, mnertawakan, ada juga yang mengatakan jijik. Oke, aku juga sebenarnya nggak sanggup melihat video itu sampai akhir, tapi bukan berarti mereka bisa mengomentari orang lain seenaknya begini, kan?

"Fay!" Aku mengangkat wajah mendengar seruan itu, lalu melihat Bang Sultan di luar gerbang sekolah melambai-lambaikan tangan ke arahku. "Cepet, kek!" perintahnya ketika melihat langkahku masih terayun pelan.

Aku menghampirinya, lalu membiarkan teman-teman marching band yang pulang bersamaan denganku melewati pintu gerbang sambil menatap Bang Sultan dan berbisik-bisik. "Abang GO-JEK," ujarku tanpa ditanya, dan mereka tertawa.

Bang Sultan memukul pelam tanganku. "Halo, saya kakaknya Shafay," ujarnya, memperkenalkan diri tanpa diminta. Teman-temanku berlalu sambil tersenyum, dan terlihat nggak peduli juga.

"Lo jemput gue?" tanyaku yang sekarang melihat Bang Sultan sudah naik ke atas jok motor.

"Iya, lah. Lo pikir gue ngapain ke sini? Ngeceng anak sekolahan? Pedofil amat," omelnya sambil memberiku helm.

Berlebihan kadang dia, tuh. Usia kami hanya terpaut tiga tahun, kalau pun dia berpacaran dengan cewek seusiaku, itu masih normal. Pedofil dari mana? "Gue kan nggak nyuruh jemput," ujarku sambil menerima helm darinya.

"Tadi pagi kan gue udah janji. Eh, atau lo udah janjian mau pulang bareng Akas?" tanyanya dengan wajah polos yang minta ditabok.

Aku memukul helm dikepalanya. "Nggak."

"Eh, tuh Akas, tuh!" Bang Sultan mengarahkan telunjuknya ke belakang punggungku.

Dan sepertinya menang benar, karena mungkin aku sudah sangat mengenali suara motor Akas melebihi suara detak jantungku sendiri. Saat mendengar suara motor di belakangku semakin dekat, aku tiba-tiba nggak bisa bergerak. Seperti biasa, ketika mendapatkan sinyal atas kehadiran Akas, punggungku terasa dingin, tubuhku kaku.

"Apa kabar?" tanya Bang Sultan pada Akas yang kini menghentikan motornya tepat di sampingku.

"Baik, Bang." Akas turun dari motornya, lalu menyambut gerakan tos dari Bang Sultan.

"Kapan mau main PES ke rumah?" Itu bukan pertanyaan basa-basi, Bang Sultan kayaknya memang serius menyukai Akas.

Akas bergumam. "Ya ..., kalau ada waktu," jawab Akas ragu. Aku kasihan padanya sekarang, karena harus berpura-pura bersikap seperti ini hanya untuk menghargai Bang Sultan.

"Gue tunggu, ya!" sahut Bang Sultan, wajahnya kelihatan bersemangat.

Akas mengangguk. "Iya, iya."

AksiomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang