AKAS
Gue baru kembali dari Ruang OSIS, sempat mampir ke kantin untuk membeli air mineral sebelum akhirnya masuk ke kelas. Dari kejauhan, gue melihat Shafay dan Laras yang sepertinya baru sampai di sekolah, masih menggendong tas dan melangkah ke arah ke kelas.Langkah mereka lambat, sehingga gue bisa mengejar ketertinggalan dengan cepat. Gue tepat berada di belakang mereka sekarang, melangkah pelan karena nggak ingin mendahului.
"Kalau ketemu Akas di kelas, sikap lo mau kayak gimana?" tanya Laras pada Shafay.
Shafay terlihat mengangkat bahu. "Biasa aja."
"Pura-pura biasa aja?" tebak Laras.
Shafay berdecak, lalu memukul-mukul dadanya. "Sialan, baru denger namanya aja gue udah deg-degan."
Laras tertawa, tubuhnya berputar. Saat melihat gue, tawanya sumbang, berubah nada dan surut kemudian. Dia berdeham. "Hai, Kas." Dia menyapa gue sambil tersenyum sekaligus meringis.
Nggak lama, Shafay menyusul untuk membalikkan badan, wajahnya kelihatan terkejut saat menatap gue.
"Misi. Gue duluan, ya." Laras menyengir, lalu berbalik dan melangkah duluan ke arah kelas, meninggalkan Shafay.
Ketika kami berdua sudah berhadap-hadapan sekitar tiga detik tanpa suara, Shafay malah memutuskan untuk pergi, mungkin mau menyusul Laras.
"Mau ke mana?" Gue refleks menarik kuncir rambutnya sehingga membuat punggungnya menabrak dada gue.
"Ih!" Shafay cemberut, membenarkan kunciran rambutnya yang longgar karena tingkah gue barusan. "Mau apa, sih?" tanyanya judes.
Saat cewek itu masih mengangkat kedua tangannya di kepala untuk membenarkan kunciran, gue mengangsurkan sebotol air mineral ke hadapannya.
Dia mengangkat wajahnya yang tadi agak menunduk, kedua tangannya turun dari kepala karena kuncirannya sudah benar. "Buat gue?" tanyanya dengan wajah sedikit terkejut.
"Bukan, buat Pandu." Dia tuh, sudah pernah gue kasih makanan, sudah pernah gue kasih obat, sudah pernah gue kasih jaket, sudah pernah gue genggam tangannya, sudah pernah gue peluk, sudah pernah gue cium juga, tapi kenapa selalu terkejut saat gue kasih kebaikan lain? "Ya buat lo, lah." Gue mendorong botol air ke tangannya.
Dia menatap gue dengan wajah terkejut yang belum hilang.
"Udah baikan?" tanya gue.
Dia mengangguk. "Makasih obatnya semalem."
Telapak tangan gue menangkup keningnya. Nggak bermaksud apa-apa, hanya memastikan dia baik-baik saja. "Agak anget." Kemudian gue memperhatikan wajahnya, matanya. "Mata lo juga mata panda banget."
Shafay memegang kedua kelopak matanya dengan satu tangan. Entah gue yang salah lihat atau bagaimana, wajahnya memerah. "Gara-gara Laras nginep di rumah gue, nih. Jadinya ngobrol sampai malem."
"Ngobrolin lo yang deg-degan tiap kali denger nama gue?"
Shafay melotot. "Lo, tuh!"
"Sini gue pegang tangan lo, siapa tau deg-degannya ilang." Gue mau menarik tangannya, tapi dia menghindar.
"Pergi lo!" usirnya galak.
Gue tertawa singkat, segera meredakannya dengan berdeham. "Banyak minum." Gue menunjuk botol air mineral di tangannya sambil berjalan mundur meninggalkannya.
Saat gue berbalik untuk melanjutkan langkah, Shafay berseru,"Kas!"
Gue menoleh. Mengangkat kedua alis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Teen Fiction-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...