AKAS
Seratus soal Matematika baru saja gue selesaikan dalam waktu satu setengah jam. Gue melangkah ke depan kelas, menyerahkan lembar jawaban dan memasukan lembar soal ke dalam tas untuk kembali dipelajari di rumah."Kita bahas soalnya besok," ujar Pak Anjar, pengajar les Matematika pada hari ini.
Gue mengangguk, lalu melangkah keluar kelas seraya menjinjing tali tas punggung, berjalan melewati beberapa ruang les menuju lobi.
"Kas!" Suara itu terdengar dari arah belakang, sempat membuat gue berhenti melangkah, tapi nggak berhasil membuat gue menoleh. "Akas!" Dia memanggil gue lagi saat gue memutuskan kembali melangkah.
Suara langkah yang cepat, menyerupai berlari, terdengar semakin mendekat, dan tangan gue ditarik dari arah belakang.
"Lo nggak denger gue manggil-manggil lo dari tadi?" Dia Dania, ekspresi cewek itu kelihatan kesal.
Gue membenarkan letak tali tas di bahu tanpa menanggapinya.
"Gue nggak enak badan, bisa anter gue pulang nggak?" tanyanya.
Gue melihat sekilas, wajahnya memang agak pucat, keringat di keningnya membuktikan bahwa dia sedang dalam keadaan nggak baik. Melihat kondisinya, gue segera merogoh saku celana, meraih ponsel untuk menelepon Davin.
"Kas!" Dania menarik tangan gue.
"Halo, Vin?" Saat mendengar suara Davin menyahut dari seberang telepon, gue langsung memberitahunya. "Dania ada di tempat les, nih. Sakit katanya. Bisa lo jemput nggak?"
Dania menatap gue dengan tatapan nggak suka.
"Oke." Gue memutuskan sambungan telepon saat Davin menyanggupi untuk datang ke sini secepatnya. "Davin bentar lagi ke sini," ujar gue pada Dania.
"Keterlaluan, lo," desis Dania.
Gue nggak menanggapi ucapannya, hanya menatapnya.
Saat gue mau meninggalkannya, dia kembali menarik tangan gue. "Lo tau nggak sih, Kas, khir-akhir ini gue berusaha ngelupain lo?" tanyanya dengan suara berat.
Mungkin. Yang gue tahu, belakangan ini dia nggak pernah lagi menghubungi gue.
"Tapi, Kas. Nggak semudah itu. Gue tetap pengin liat lo tiap hari, gue pengin tau kabar lo," jelasnya. "Gue bener-bener nggak bisa, Kas. Semakin gue berusaha ngelupain lo, gue malah nggak berhenti mikirin lo."
Gue tetap diam, karena merasa nggak boleh memberi celah pada Dania sedikit pun. Maka dari itu, gue memutuskan untuk kembali melangkah, meninggalkannya.
"Lo bisa hargain hati gue nggak sih, Kas?!" Suara Dania terdengar serak, tapi gue nggak memedulikannya. Gue terus melangkah melewati lobi, menempelkan kartu anggota pada mesin absen, setelah itu gue melangkah ke luar.
Gue ingat tentang suatu hari, di mana Bagas yang katanya sudah melupakan Dania, tiba-tiba menanyakan kabar cewek itu.
Yah, setiap ingat Bagas, rasanya gue selalu ingin mengeluarkan sebatang rokok, padahal akhir-akhir ini gue sudah nggak pernah menyentuhnya.
Suatu malam, sekitar satu tahun yang lalu, Bagas masuk ke kamar gue tanpa kacamata dan buku latihan soal yang biasanya dia bawa ke mana-mana. "Gue mau ngomong sama lo. Ganggu, nggak?" Bagas masuk tanpa mengetuk pintu, saat gue baru keluar dari kamar mandi dan menggosok handuk di rambut yang masih basah.
"Kagak, lah. Belajar aja gue nggak pernah, ganggu kenapa coba?" tanya gue dengan nada sarkas sambil mengambil kaus dari dalam lemari.
"Dania apa kabar?" tanya Bagas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Teen Fiction-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...