Aksioma #11

76.6K 7.3K 940
                                    


SHAFAY
Aku berjalan di belakang Akas, membelah lorong sekolahan yang semakin sore semakin sepi. Lorong sepi, angin sore yang dingin, dan Akas. Nggak lengkap rasanya kalau aku nggak menggigil di tengah keadaan ini. Aku menggulung kemeja Akas di tangan, menatap cowok itu yang hanya memakai kaus putih polos dan celana abu-abunya. Rasa bersalah terbersit saat sadar bahwa hari ini Akas nggak bisa ikut ekskul basket karena kausnya harus aku pakai.

"Balik bareng gue nggak?" tanya Akas ketika kami sudah sampai di halaman sekolah.

Aku berdiri di sampingnya, meliriknya sekilas, sesaat bingung antara memilih berjalan lurus ke gerbang sekolah atau berbelok ke arah kiri untuk ikut ke lahan parkir, di mana motor Akas di simpan. "Duluan aja, gue bisa naik angkutan umum," putusku cepat. Rasanya agak nggak tahu diri kalau aku harus kembali membuatnya repot.

"Rumah kita, kan, deket," ujar Akas sambil melangkah ke arah parkiran. "Atau takut Yugo liat?"

Aku melotot, tanpa sadar mengikuti langkah Si Cowok Mulut Wasabi itu. Gila, ya! Dia membuatku mengingat kenangan semasa MPLS yang memalukan, saat aku disuruh memilih satu kakak kelas cowok yang paling ganteng dan tanpa pikir panjang aku memilih Kak Yugo. "Eh, kalau ngomong!" bentakku. Padahal aku nggak begitu mengingat Kakak Kelas Tampan yang belum tertangkap aibnya oleh akun Halal Ketawa itu, tapi Akas bisa-bisanya mengungkitnya.

Akas sudah naik ke atas motor, kemudian memakai jaketnya sambil menatapku. "Buruan!" suruhnya.

Aku berdecak kesal. "Duluan gue bilang."

Akas menyalakan mesin motor setelah memakai helmnya. "Lah, terus ngapain lo ngikut ke sini?" tanyanya heran. "Buruan, nyesel entar."

Apa katanya? Nyesel? Aku berbalik, berniat untuk pulang sendiri. Namun, sebelum kakiku melangkah, dari kejauhan aku melihat segerombolan anak Ekskul Basket menuju ke arahku, ke arah parkiran. "Mampus," gumamku sembari menatap ke bawah, menatap kaus Akas yang kupakai.

"Shafay!" Seruan itu berasal dari salah satu anak basket yang sekarang mendekat. Kalau nggak salah, kalau nggak salah nih, ya, itu suara Pandu. Itu membuatku gugup, sekarang aku tahu rasanya jadi Nyonya Puff yang gugup ingin menghindari Spongebob.

Akas berdecak. "Gue bilang apa? Nyesel, kan?" gumamnya seraya melirik jam tangan.

"Shafay!" Pandu berlari ke arah kami dengan napas terengah. "Gue nggak salah liat, kan? Lo Shafay, kan?" tanyanya heran. Dia memperhatikan penampilanku dari ujung kepala sampai kaki. Terakhir, perhatiannya jatuh ke tanganku yang menggulung seragam Akas.

Garda dan anak basket lain ikut menghampiri kami, lebih tepatnya menghampiri motor masing-masing di lahan parkir. Namun, aku bisa lihat tatapan mereka sekarang tertuju padaku. Iya, aku pakai kaus basketnya Akas, ada nomor 11 dan nama Akas di punggung kausnya. Masalahnya apa?

"Abis ngapain, Kas?" tanya Garda sambil senyum-senyum. "Buka seragam banget?" Garda ikut memperhatikan seragam Akas yang berada di tanganku.

"Tikungannya tajem ya, Kas, padahal. Tapi gue ketikung juga," ujar Pandu sambil memegang dadanya dengan wajah nyeri. Namun, setelah itu dia melakukan gerakan tos dengan Garda.

"Keramas banget, Fay?" celetuk anak basket lain yang entah siapa namanya. Setelah itu, terdengar suara tawa yang saling bersahutan.

Aku diam, menunduk, memejamkan mata. Apa sih yang ada di dalam pikiran mereka melihat keadaanku dan Akas sekarang? Nggak ngerti.

Akas menarik kencang tanganku. "Naik," gumamnya sambil melirik jok di belakangnya.

Aku nggak mungkin menolak lagi, merasa nggak punya pilihan lain, karena lahan parkiran tiba-tiba seperti berubah menjadi labirin, dan cara satu-satunya yang kumiliki jika ingin keluar dari sini hanya dengan naik ke boncengan Akas. Sekarang juga.

AksiomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang