Aksioma #15

70.2K 6.9K 874
                                    


AKAS
Gue menaiki anak tangga dengan isi kepala yang rasanya sesak. Gue agak nggak terima ketika Shafay menolak tawaran gue untuk mengantarnya pulang, dia lebih memilih pulang dengan Fadhia dan Laras, naik angkutan umum, padahal gue sudah lihat dia kecapekan dan bersin-bersin karena kehujanan waktu adegan terakhir tadi.

"Akas!" Bentakan itu gue dengar saat sudah mencapai puncak tangga.
Gue berhenti, menoleh ke belakang, mendapati Mama berdiri di bawah tangga.

"Kenapa, Ma?" tanya gue.

Mama kelihatan sangat kesal. "Kamu daritadi Mama panggil-panggil itu memang nggak dengar apa pura-pura nggak dengar?"

Sejak gue memasuki rumah, gue benar-benar nggak mendengar suara apa pun. "Nggak dengar," jawab gue pelan.

"Soal-soal Matematika yang kamu kerjakan kemarin, Bu Dewi sudah kirim pembahasannya ke e-mail kamu, katanya ada beberapa yang keliru."

Gue mengangguk. "Nanti Akas liat."

"Terus—"

"Ma, Akas baru pulang. Akas mau mandi, istirahat. Nanti kan harus belajar lagi."

Mama terlihat nggak senang saat gue memotong kalimatnya, namun beliau mengangguk dan meninggalkan gue.

Gue kembali melangkah, melirik pintu kamar Bagas. Seharusnya, saat ini gue menemuinya untuk bercerita tentang apa yang gue alami tadi di sekolah, bersama Shafay. Apa yang gue rasakan saat berada di dekat Shafay. Bagaimana isi dada gue yang meluap-luap saat menahan diri untuk ... mencium Shafay. Dan, meminta maaf pada Bagas?

Namun, langkah lunglai gue justru terayun melewati pintu kamar Bagas begitu saja, dan pangkal lengan gue mendorong pintu kamar.

Gue masih menghargai Bagas, sampai saat ini. Tapi di sisi lain, gue juga bingung saat Shafay bertanya, Lo anggap gue apa, sih? Boneka, ya? Lo bangga nunjukin sama temen-temen lo kalau lo bisa narik dan ngelepas gue kapan aja lo mau?

Entah mengapa, gue agak nggak suka dengan ekspresi wajah Shafay yang terlihat marah ketika mengatakan kalimat-kalimat—yang bingung gue jawab—itu. Gue nggak suka dia marah?

Sial, ya. Sejak kapan gue peduli sama perasaan orang terhadap gue?

Sejak kenal Shafay? Gue mendengar suara isi hati gue sendiri, dan segera menepis-nepis samping telinga.

Tangan gue merogoh ponsel yang berada di dalam tas yang gue lindungi dari air hujan selama perjalanan tadi. Mengetikan sesuatu di kolom pesan, untuk Shafay.

Masih bersin-bersin?

Lama gue pandangi kalimat itu, kemudian memutuskan untuk menghapusnya.

Sebuah chat dari grup Terong Enak mengganggu lamunan gue, ada sebuah pesan dari Pandu di sana. Gue menghela napas panjang, sudah merasa nggak enak hati tiba-tiba melihat chat Pandu di grup. Gue lupa nggak mengancamnya untuk tutup mulut, tentang kejadian yang dilihatnya tadi.

Pandu Prayata : Kas, udah nyampe rumah?

Garda Pradipa : Japri, si. Nyepam aje.

Pandu Prayata : Ih, gue mau ngobrol di sini.
Pandu Prayata : Boleh nggak, Kas?

Akas Nareshwara : Paansi.

Davin Abyudaya : Mau minta masukan, dong. Buat film pendek gue.

Pandu Prayata : Boleh. Minta masukan apa? Asal lama-lama jangan minta dimasukin.

AksiomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang