Aksioma #25

69.9K 6.7K 1.4K
                                    

AKAS
Gue dan Pandu menunggu Davin di lobi rumahsakit. Selama sepuluh menit, kami melihat wajah panik beberapa orang berlalu-lalang, para perawat dan dokter yang berjalan tergesa, dan kami juga sempat melihat satu pasien penuh darah yang diangkut dengan brankar menuju IGD. Nah, pemandangan ke-tiga yang membuat gue dan Pandu berpindah tempat dari lobi ke parkiran rumahsakit untuk menunggu Davin—yang katanya ingin bicara. Kami nggak cukup kuat untuk melihat warna merah yang bau amis itu.

Terus Pandu bilang, “Kalau istri kita nanti ngelahirin, kita harus lihat darah-darah begitu, Kas. Sebagai suami siaga.”

“Ikut gue.” Kalimat itu tiba-tiba kami dengar saat Davin melewati kami yang tengah berjongkok di depan gerbang parkir. Si Bego itu berjalan melewati kami, yang sudah menunggunya selama tiga puluh menit, tanpa menoleh sedikit pun.

“Ke mana?” tanya gue seraya mengikuti langkahnya.

Saat Davin sudah sampai di samping motornya, dia menatap gue. “Nggak usah banyak tanya bisa nggak?” tanyanya.

Si Anjir. Gue melirik Pandu, dia sudah menggerak-gerakkan rahang dengan wajah muak sambil menatap Davin. “Ikutin aja,” ujar gue sembari memukul pelan dadanya dengan punggung tangan saat melewatinya, sekaligus menginterupsi tatapan tajamnya pada Davin.

Davin membawa kami ke arah timur, ke arah Jalan Raya Cibubur tempat Rico dulu menantang gue untuk balapan motor. Dan setelah sampai, gue melihat Garda sudah menunggu kami di sana sendirian.

“Belum dateng?” tanya Davin Pada Garda sambil menepikan motor.

“Belum,” jawab Garda. Dia melirik Gue dan Pandu yang masih belum turun dari motor.

“Ada apa nih ngajak ke sini?” tanya Pandu, mewakili rasa penasaran gue. Jangan bilang, Davin akan menantang gue balapan di sini, kalau itu tujuannya, sekarang juga gue bakal putar balik.

Nggak lama, dari arah kanan, datang dua motor dengan suara berisik, mereka berhenti tepat di depan motor kami terparkir. “Wah, formasi lengkap, nih?” tanya seseorang yang baru datang. Dia Rico, gue kenal dari motor yang dibawanya. Dan satu lagi, setelah membuka helm yang dikenakan, gue tahu itu adalah Fadli.

Masih ingat mereka? Dua orang yang kami tangkap basah mengintip paha-paha cewek anggota marching band? Mengingat itu, entah kenapa buku-buku jari gue terasa kaku saat digerakkan.

Gue dan Pandu turun dari motor, bergabung dengan Davin dan Garda yang kini sudah berhadapan dengan Rico dan Fadli.

“Jangan macem-macem makanya,” ujar Rico sambil menatap tajam ke arah gue. Dia mengeluarkan sebuah kamera dan ponsel dari tas yang dibawanya. “Gue masih punya copy-annya. Kalau pihak sekolah tahu gue udah ngambil kamera sama ponsel lo, dua teman lo ini abis juga,” ujar Rico sambil menunjuk Garda dan Pandu. Setelah itu, dia melemparkan kamera dan ponsel itu pada Davin.

Jadi, Davin memang nggak bohong kalau dia kehilangan kamera dan ponselnya. Dan, bukan dia yang mengunggah foto gue ke akun ShooterX itu.

“Dan lo!” Rico menunjuk wajah gue. “Foto lo sama Shafay boleh juga kalau gue sebar.”

Gue mengepalkan tangan, mendorong dada Rico kencang.

“Wah, wah, sabar!” Rico mengangkat dua tangannya dengan santai. “Gue sportif, nggak akan lakuin itu, kalau lo semua nggak bikin masalah sama gue.”

Gue menatapnya tajam, dan Rico hanya membalas gue dengan senyum sinis.

“Oke, selesai kan masalah kita?” tanya Rico. Kemudian, Rico dan Fadli kembali naik ke motor setelah melepaskan ekspresi penuh ancaman pada kami. Lalu mereka pergi, menodongkan knalpot secara sengaja, membuat suara berisik dan asap dari knalpot menyembur ke arah kami.

AksiomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang