SHAFAY
Aku menelepon Ayah berkali-kali, tapi hasilnya masih sama, yang menyahut dari seberang sana hanya suara operator yang memberitahu bahwa nomor Ayah sedang sibuk. Sebelumnya, aku sudah menghubungi Bang Sultan, memintanya menjemputku selesai ekskul, tapi dia bilang nggak bisa karena sedang survei tempat untuk acara HIMA.
Aku menghela napas panjang, menghilangkan rasa kecewa karena nggak ada yang bisa kuandalkan hari ini. Aku ingin cepat sampai di rumah, sedang malas berdesak-desakan di dalam bus. Hari ini aku sedang nggak suka keramaian, kebisingan, dan rasanya ingin terus-terusan menyendiri. Fadia dan Laras sudah mengerti karena fase ini pasti hadir setiap tahun, namun ekskul marching band yang kuikuti nggak akan membiarkan aku untuk izin latihan.
Kutaruh lagi ponsel ke dalam tas dan kembali ke tengah aula untuk mengambil baton yang tadi kuletakan secara sembarang ketika para pelatih memberi instruksi untuk kembali memulai latihan pada semua anggota.
"Konsen, ya, Fay!" seru Kak Agni yang berdiri bersama beberapa pelatih. Mungkin saja, hari ini dia agak kesal karena sejak tadi aku nggak selincah biasanya, bahkan saat latihan formasi, aku berkali-kali hampir menabrak anggota lain saat bergerak memutar baton. Yang paling parah, ketika baton yang kuputar memukul tongkat bendera dari salah satu CG, sampai Kak Agni berteriak, "Fay, konsen!"
Aku mengangguk, lalu segera berlari ke barisan di sisi aula.
Liana bergerak memimpin barisan. Aku dan Febri berada di belakang Liana untuk ikut merapikan pasukan. Suara perkusi bertabuh, seiring kami melangkah untuk berbaris ke tengah lapangan. Semua menempati posisi masing-masing, sampai akhirnya Liana kembali berteriak, mengintruksi pada pemegang instrumen perkusi untuk menghentikan suara alat musik mereka.
Tepuk tangan sebanyak tiga kali dari Liana terdengar, membuat kami berada di posisi tegap. Selanjutnya ia berteriak sambil menepukan tangan pelan, "Satu, dua, satu, dua, tiga, empat." Dan suaranya tadi seperti pengendali bunyi, alat musik tiup terdengar sayup-sayup, disusul bunyi dentingan belira.
Tangan Liana bergerak mengatur tempo, aku dan Febri bergerak untuk memainkan baton. Aku merasa beruntung mendengarkan saran Laras untuk memakai celana panjang saat latihan, aku jadi bebas bergerak.
Eh, Akas atau Laras?
Aku memutar baton di atas kepala, lalu memutar ke belakang tubuh dan mengembalikannya ke depan dengan gerakan cepat, gerakan yang disebut Kak Agni adalah helicopter spin behind back. Saat tempo lagu terdengar lebih cepat juga terdengar bising karena suara snare drum dan simbal sudah ditabuh, aku berdiri untuk berlari ke sisi yang berlawanan dengan Febri diikuti CG yang sudah menyebar dengan gerakan lincah.
Setelah melakukan transitional spin, di mana baton tetap berputar saat kudayung ke kanan dan ke kiri, aku melempar baton ke atas dan kembali bisa kutangkap dengan sempurna, nggak seperti saat awal-awal latihan tadi yang sepertinya gerakanku sangat membahayakan orang lain.
Tempo permainan alat musik melambat, aku dan Febri kembali ke depan barisan dengan kompak. Lalu menghentikan gerakan baton dan hanya mengayunkannya ke atas, sebagai tanda bahwa permainan akan segera berakhir. Sampai akhirnya Liana berteriak sambil mengapalkan dua tangannya di udara, tanda permainan usai.
Suara tepuk tangan dari para pelatih terdengar. "Keren! Keren! Untuk latihan hari ini cukup!" ujar Kak Fadlan, pelatih perkusi.
Aku menghela napas panjang, itu benar-benar kalimat yang aku nanti-nantikan sejak tadi.
"Fay, sori, ya, dari tadi marah-marah mulu," ujar Kak Agni. Dia menghampiriku sambil memberikan sebotol air mineral.
Aku tersenyum. "Nggak apa-apa, Kak. Aku yang emang nggak konsen hari ini," ujarku sambil menerima botol air mineral darinya.
***
AKAS
Hal yang gue lakukan di kamar Bagas masih sama, membaca catatan panjangnya di meja belajar. Sempat gue mengutuk dalam hati, kenapa rasanya nggak habis-habis halaman catatan itu, tapi semakin hari gue juga semakin penasaran. Terutama, apa yang Bagas pikirkan ketika menulis tentang Shafay.
Contohnya saja, jauh sebelum hari gue memberikan jaket pada Shafay saat gerimis datang, gue pernah membaca sebuah catatan yang Bagas tulis. Ketika Bagas melihat Shafay berlari dari gerbang kompleks untuk mencapai rumahnya hanya berpayung tas sekolah karena hujan tiba-tiba saja turun. Yang gue baca di akhir kalimatnya adalah, Andai gue bisa berikan jaket yang gue punya untuk Shafay, gue akan lakukan itu. Tapi, ya masih sama, gue masih takut untuk mendekatinya.
Sebagai seorang cowok, gue agak kesal membaca curahan hati Bagas ini. Dia itu cengeng, karena nggak berani bertindak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Jugendliteratur-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...