Broke-1

4.6K 242 18
                                    

Ini cerita kedua, semoga suka!ehehe

Apa pun keadaannya, bagaimanapun wujudnya, kita harus tetap mensyukuri apa yang ada.

Bogor, 18 Desember 2013

"A--apa?" pekik Prilly lantang saat mengetahui keadaan papinya sekarang.

"Nggak! Nggak mungkinn!" ucapnya panik lalu berjalan kedalam sekerumunan orang di depan rumahnya.

Tentu saja ia kaget, baru saja ia pulang sekolah langsung di suguhkan bendera kuning di depan rumahnya. Juga orang orang berbaju hitam yang berlalu lalang di sekitarnya.

Saat ini, Prilly masih berusia 12 tahun. Ia amat sangat benci kejadian yang merenggut nyawa papinya. Ia langsung menerobos sekumpulan orang tersebut. "Papi!" lirihnya dengan isak tangis di pelupuk matanya.

"Kalian semua ngapain di sini! Pergi kalian, pergi!" ucap Prilly lantang tak memperdulikan sekitarnya yang menatap nanar. Orang orang yang datang ngelayat di situ memandang Prilly kasihan, mereka sangat amat teriris dengan tangisan yang di keluarkan oleh Prilly.

"Mami! Mami!" pekiknya kencang seraya menghampiri sang Mami yang sedang duduk berdiam diri. Dengan mata tak berkedip.

"Kenapa ini? Papi aku kenapa!" ucapnya kembali lalu menangis tersedu-sedu sambil menghampiri mayat Papi di hadapannya.

"Papi jangan bercanda! Bangun! Prilly gak suka!" katanya histeris saat membuka kain yang menutupi wajah Papinya.

Di lihatnya Papi yang sedang memejamkan matanya tenang, bibir yang pucat membiru. Tangan di tumpukan di atas perutnya.

Ada apa dengan Papinya? Kemarin Papinya sehat-sehat saja. Bahkan kemarin sempat membelikan permen loli untuknya. Tapi ada apa dengan keadaan sekarang? Apa ini sebuah mimpi?

"Tante Lexis, Papi kenapa?" ucapnya dengan nada bergetar, Prilly beralih menatap Lexis yang tersenyum duka.

Lexis--Tante Prilly menghampiri nya. Lalu mengusap pucuk kepala Prilly sayang, di kecupnya dengan penuh kesedihan. Lexis sempat kaget, saat mengetahui bahwa Papi Prilly mengalami kecelakaan di gedung lantai 4. Ia sempat tercengang tak percaya, bagaimana sang adik bisa meninggal? Apa penyebabnya? Itu belum pasti Lexis ketahui. Ia mencoba ikhlas dengan apa yang terjadi sekarang.

"Papi Prilly gak apa-apa, cuma pingin tidur aja," jelas Lexis tersenyum getir. Tampak wajah kekesalan Prilly di hadapannya.

"Nggak nggak! Papi ninggalin Prilly kan ya? Ngga mau aku! Kakek! Bangunin Papi aku," ucapnya dengan nada pelan karena isakan tangis yang semakin membuatnya susah berbicara.

Tomi--kakek Prilly. Menghampiri cucu satu-satunya yang terlihat rapuh sekarang.

"Ka--kakek," ucap Prilly. Tangisannya mulai mereda, seperti terkuak habis air matanya.

"Sini sayang, Prilly kan hebat. Jangan nangis ya, Papi gak ninggalin Prilly kok," ucap Tomi tenang sambil mengelus punggung Prilly.

"Tapi Papi aku--Papi kenapa?" tanyanya penasaran.

Demi apapun, ia berjanji. Siapa saja yang membunuh Papinya, orang itu akan habis di tangannya. Sekalipun polisi atau tentara, ia tetap berjanji.

Apa ia harus ikhlas dengan keadaan yang menimpanya hari ini? Kehilangan Papinya, ia amat sangat tak percaya dengan kejadian yang baru saja terjadi.

"Papi Prilly sayang sama Prilly, jangan pernah ngelawan hal yang gak harusnya di langgar. Pasti Papi bakal seneng, mau bikin Papinya Prilly seneng kan?" ucap Tomi yang di balas anggukan cepat oleh Prilly.

"Prilly jangan sedih ya? Kan ada Kakek, Tante Lexis, Mami juga."

"Aku gak mau papi ninggalin aku!" balasnya keukeh.

Tomi menggelengkan kepalanya. "Prilly pernah belajar takdir gak di sekolah?" tanya Tomi dengan senyuman tulusnya.

Prilly mengangguk setuju. "Kata Ibu Guru takdir gak boleh di lawan, gak bakal bisa malah," ucapnya polos.

"Jadi Prilly ngertikan kalo ini takdir? Jadi kita gak boleh ngelak atau ngelawan takdir dari Allah. Mau janji sama kakek?" jelas kakek Prilly. Prilly kembali mengangguk.

"Bikin papi Prilly seneng disana, Prilly disini juga jangan sedih. Ikhlasin Papinya Prilly ya?"

"Iya, tapi kakek aku--aku mau liat Papi senyum! Hiks," jawabnya lalu memeluk kakeknya erat sembari tersenyum luka.

Prilly berjalan ke arah sang Mami, sambil menundukkan kepalanya. "Mami!" panggilnya lalu duduk di pangkuan Maminya. Yang sejak tadi tak berkutik, memejamkan mata pun tak terlihat.

Merasa tak ada jawaban, ia menatap ke atas. "Mami!" panggilnya lagi. Lalu maminya hanya menatap nya sekilas, kemudian Maminya menangis dengan menggeserkan kasar tubuh Prilly.

"Tante Lexis! Mami aku kenapa?" tanya prilly saat melihat maminya tak sadarkan diri.

"Ya Allah! Itu tolong angkatin. Bawa ke kamar!" pekik tante Lexis. Lalu menghampiri Prilly yang kembali menangis.

"Prilly tenang ya, maminya Prilly cuma ngantuk. Jadinya harus ke kamar, udah dong jangan nangis lagi," bujuk Lexis sambil memeluk Prilly.

"Aku pingin ngobrol sama Papi, sama Mami sambil nonton tv kayak kemarin!" katanya sambil menangis.

Prilly tahu, kejadian kemarin pasti tak akan terulang lagi. Apa yang akan terjadi kedepannya Ya Tuhan?

Prilly tersenyum kecut saat mengingat kejadian masa lalunya yang membuat nya kehilangan sang Papi. Superhero yang selalu ada untuknya, yang selalu mengajarkannya dunia bawah laut di dalam bak mandi.

Tentang Atlantis, planet-planet. Bahkan janji Prince and Princess yang sengaja di buat Papinya masih ia ingat.

Tapi sekarang, seiring berjalannya waktu. Ia tak bisa memprediksi bahagianya. Karena, kehidupannya berbeda 180°. Jika boleh, ia ingin kembali ke masa kecilnya. Dimana ia tak mengerti hal selain Fantasy. Papinya meninggalkannya sudah 5 tahun belakangan.

Prilly merasakan sang Mami duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Lalu mendongak, terlihat maminya yang sedang menghisap sebatang tembakau di celah-celah jari, serta selembar koran pagi.

"Malam ini kamu jangan keluar kamar! Mau ada temen Mami ke sini," ucapnya dingin. Sesekali menghembuskan asap dari mulutnya.

Maminya, Mami yang selalu ada untuknya. Yang selalu mengajarkannya sebuah dongeng mistis, sampai ketidak mungkinan yang membuatnya tersenyum. Tak lupa dengan kisah Disney Princess  yang dulu digemari keduanya.

Sekarang maminya bertingkah seolah seorang wanita penghibur di luaran. Ia tak menghina maminya, ini sebuah kebenaran yang sama sekali sulit dipercaya.

Prilly menghembuskan nafasnya kasar, dilihat sekelilingnya penuh dengan berbotol minuman keras dengan berbagai varian rasa. Ia menggelengkan kepalanya kuat. Apa ia harus tetap bertahan dengan maminya?

"Iya," balas Prilly lalu naik ke atas tangga.

Prilly lebih memilih masuk ke dalam kamarnya, kemudian berjalan menghampiri balkon.

Persetan dengan kejadian yang terjadi dulu kala. Ia benci dengan tanggal 18, bulan desember, hari rabu, dan lantai empat.

Prilly memejamkan matanya, bayangan papinya yang sedang di tutupi kain kafan sampai dikuburkannya jasad ke dalam tanah membuatnya sedih sendiri.

"Prilly bahagia disini pi," gumamnya lirih.

Readers kemana?

BROKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang