Broke-11

1.6K 134 1
                                    

Mami Prilly terkejut kala melihat Ali juga ada di ruangan guru. Ia duduk di samping Ali yang sedang menundukkan kepalanya.

"Ada apa, Bu?" tanya Mami Prilly, sambil membenahi rambutnya yang sedikit acak-acakan.

Ibu Kepala Sekolah menyodorkan kertas yang sudah lusuh kepada Mami Prilly. Mami Prilly terkejut saat mebacanya, "Apa maksudnya?"

Ibu Kepala Sekolah menarik nafasnya gusar. "Awalnya, saya tidak tahu tentang ini. Namun, Ali melaporkan kertas ini, yang merupakan topik perbincangan siswa. Dia bilang, tidak terima, jika Prilly di lecehkan. Benar begitu, Ali?" ucap Ibu Kepala Sekolah terus terang.

Ali mendongak, kemudian mengangguk. "Tapi, Prilly selalu diam di rumah, Bu," ucap Mami Prilly heran.

"Itu sebabnya, kami mengundang anda ke sini. Untuk mengkarifikasikan bahwa gosipan ini benar atau tidak?" tanyanya, menatap Mami Prilly lekat.

Ali menjambak rambutnya, ia melaporkan ini bukan untuk memperbesar masalah. Tapi ia ingin membuktikan kepada Prilly, bahwa ini hanyalah sebuah kesalah pahaman.

"Atas dasar apa si pembuat berita hoax ini, mana buktinya?" tanya Mami Prilly, merasa tidak terima Putrinya terlibatkan.

Ali tersenyum kecil, tidak menyangka Mami Prilly akan membela anaknya. Ia kira, Mami Prilly akan biasa saja. "Menurut Ali, ada yang sengaja bikin ini Tante. Tapi Ali juga nggak tau siapa," ucap Ali.

Mama Prilly menatap Ibu Kepala Sekolah lekat. "Meskipun pandangan Ibu kepada saya bermacam-macam, tapi tolong bedakan antara saya, dan anak saya, Bu. Anak saya, anak baik-baik, meskipun saya tahu pemikiran kalian soal saya, tetapi saya sangat jauh beda dengan anak saya. Bahkan, saya tidak pernah membiarkan anak saya keluar, jadi, saya katakan bahwa berita ini tidak benar adanya. Lain kali, jangan pernah mengusik nama baik anak saya lagi!" ucap Mami Prilly terlanjur sewot, kemudian keluar begitu saja dari ruangan tersebut.

Ibu Kepala Sekolah mengangguk, kemudian menatap Ali. "Kamu--"

Ali berlari, menyusul Mami Prilly, tidak memperdulikan ucapan Kepala Sekolah tersebut.

"Tante, Tan!" panggilnya, kemudian berhenti.

"Kenapa?" tanya Daisy, ia malas di pandang dengan siswa dan siswi di sini.

"Prilly kemana? Kok nggak masuk?" tanya Ali, ia tidak melihat Prilly pagi ini.

Mami Prilly terdiam, ia menatap ke depan. "Prilly sedang sakit," ucapnya, kemudian berlalu ke parkiran.

Ali terdiam, apa katanya? Prilly sakit.

Ali berjalan ke depan perpustakaan, duduk menatap ke depan. Ia semakin merasa bersalah, apa Prilly sakit karena memikirkan hal ini?

"Eh, Li! Lo li--"

"Lo liat Prilly nggak?" tanya Ali, mendahului ucapan Gio yang terpotong.

Gio mendengus, menatap Ali malas. "Baru aja gue mau nanya, yaudah gak jadi. Gue gak tau Prilly kemana," ucap Gio, kemudian berlalu.

Ali menunduk, melihat buku kucel akibat terinjak-injak di bawah kursi sampingnya. Ia mengambilnya, kemudian melihat buku tersebut.

"DPR? Kucel banget ni buku," ucap Ali, kemudian membuka lembarnya satu-persatu.

"Ini aku, DECYLA PRILLYESTIE RAGANA, penikmat kacaunya hidup." Ali memelototkan matanya, ini buku kekasihnya, Ali yakin, disini ada curahan hati Prilly.

Ali memasukkannya ke dalam saku, ia masih tidak mengerti dengan tulisan Prilly pada lembar pertama, penikmat kacaunya hidup.

.

Mami Prilly menghembuskan nafasnya saat sampai rumah, ia menggelengkan kepalanya cepat. Ia menarik nafasnya dalam-dalam.

"Apa ini yang di maksud Prilly?" gumamnya pada diri sendiri, kemudian termenung.

"Aku cukup menderita belakangan ini, Mi. Mami nggak ngerasain, gimana rasanya jadi aku. Setiap sekolah, aku dapet cacian, Mi, harusnya aku cerita ke Mami, tapi Mami udah beda!"

Ia menjadi merasa bersalah kepada Prilly, tapi, dimana Prillynya sekarang? Apa Prilly menghindar darinya?

"Dimana kamu, Decyla?" ucapnya lirih.

...

Yogyakarta

"Jadi, masih belum mau cerita sama Kakek?" tawar Kakek, sambil meminum minumannya karena kehausan habis bermain golf.

"Apa yang harus aku ceritain, Kakek Tama?" balas Prilly tersenyum.

"Senyum kamu palsu ah, Kakek nggak suka."

Tante Lexis datang, "Tante sama Kakek tau, kamu mendem masalah, ayo cerita, Prill," pinta Tante Lexis.

Prilly tertegun, apa wajahnya sangat menggambarkan kesedihan? Padahal dirinya mencoba menutupi hal tersebut.

Bukannya tidak mau bercerita, tapi ia takut jika perbuatannya akan menambah masalah kembali. Ia tidak ingin teledor dalam bertindak.

"Jangan bilang ke siapa-siapa, iya?" tanya Prilly kurang yakin.

"Kamu pikir kita baru kenal kamu?" tanya Tante Lexis terkekeh.

Prilly tersenyum, kemudian menunduk. "Kemarin waktu aku pulang sekolah, aku di panggil Mami yang lagi ngobrol sama Om-om. Di depan mereka ada uang banyak banget. Mami bilang kalo Om itu bisa ambil aku besok, katanya. Aku--aku," ucapan Prilly terhenti, ia tidak kuat dengan isakan yang akan lolos dari mulutnya.

"Astaga, Kak Daisy mau menjualmu?" tanya Tante Lexis, Prilly mengangguk kemudian terisak di bahu Tante.

Kakek menggeleng cepat, kemudian berdiri. "Kurang ajar sekali anak itu, dimana akal sehatnya? Mengapa makin ke sini semakin bejat?" amuknya sewot, ia tidak menyangka dengan ulah menantunya tersebut.

"Kakek, aku mau tinggal di sini, tapi sekolah aku gimana, Kek?" tanya Prilly, ia lebih nyaman tinggal di sini, dibanding dengan Maminya.

"Mau pindah sekolah atau pulang pergi Jakarta-Yogya?" tanya Kakek.

Prilly tersenyum haru, ia beruntung memiliki seorang Kakek yang menurutnya sangat istimewa. Setidaknya, ia masih memiliki Tante dan Kakek yang masih perduli dengannya.

"Besok, setelah Kakek pulang dari kantor, kita urus surat pindahmu."

Kakek berlalu, Tante Lexis menatap Prilly miris. "Maafin Mami kamu, mungkin dia lagi khilaf. Kamu disini aja sama Tante," ucapnya, mengelus bahu Prilly.

Tante Lexis adalah anak bungsu dari Kakeknya, Tante Lexis masih menjadi mahasiswi dan terpilih untuk menjadi Ceo perusahaan Kakek. Sedangkan Kakek, menjadi Direktur Utama.

Prilly berjalan ke kamarnya, ponselnya terus saja berbunyi. Banyak panggilan dan pesan yang ia terima, namun ia malas membukanya satu per satu.

Ia memposting foto dirinya dan Kakek yang sedang berpose ria saat di lapangan golf belakang rumah, ia sengaja menonaktipkan komentar pada postingannya itu.

Erlangga is calling

Prilly menimang-nimang ponselnya, apa ia angkat saja? Ia begitu bosan hari ini.

"PRILL! LO DIMANA? KENAPA NGGAK MASUK SEKOLAH?" pekikan heboh membuat Prilly menyingkirkan ponsel tersebut dari telinganya.

"Berisik, Er," balas Prilly.

"Lo demen banget panggil gue Er, nama gue Gio, bodoh. Eh tapi nggak penting, kenapa lo nggak sekolah?" tanyanya kembali.

Sepertinya Prilly salah orang, ia langsung mematikan ponselnya dan melemparkannya ke sembarang arah. Kembali menenggelamkan wajahnya di balik bantal.

"Hidup gue nyedihin emang, mau cerita, ke siapa? Mau galau, bukan waktunya. Mau mati juga dosa," gumamnya kemudian memejamkan matanya perlahan.

VOTE SAMA KOMENNYA

BROKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang