Broke-22

2.1K 179 15
                                    

Siang ini langit mendung, kilatan petir membuat siswa dan siswi terkejut. Guru-guru rasanya malas untuk mengisi kelas, jam terakhir dimanfaatkan para siswa untuk tertidur.

Berbeda dengan Ali, ia diam di kursi depan kelasnya. Mencari sosok gadis yang tidak ia temui dari pagi. "Prilly mana?" gumamnya, kemudian berbaring kecil di kursi tersebut. Tidak peduli dengan siswa dan siswi yang saling menyahut khawatir Ali akan tersambar petir.

Pikirannya kacau dibalut rasa ingin memiliki, namun sulit untuk menggapainya. Ia mengembuskan napasnya berat, memutuskan untuk turun ke bawah. Tatapannya terpaku pada gadis kursi roda yang mencoba menahan dorongan.

Empat orang di belakangnya sedang tertawa, mencoba mendorong kursi roda tersebut. Gadis itu memejamkan matanya, mencoba menetralkan emosi. Ali menggeleng, berjalan pelan menghampiri barisan orang jahat menurut pandangannya. Di sana, Rasti dan teman-temannya, dilengkapi Sonata.

"Basah, Nat--" ucap Prilly, mencoba menurunkan kakinya sebelah. Rasti tersenyum puas, lagi, dia kembali mendorong kursi roda tersebut. "Enak nggak? Gak bisa ada yang nolongin lo sekarang."

Ali di belakang, mencoba tenang. Ia harus menolong Prilly, meskipun Prilly sudah membencinya. "Kalian nggak ada kerjaan, mending ladenin gue," ucap Ali dingin. Yang sontak membuat keempatnya menoleh.

Sonata terlihat gugup, ini kedua kalinya ia kegeep saat bertindak jahat oleh Ali. Rasti dan kedua temannya pun tersenyum remeh, dalam sekali dorongan, Prilly tersungkur ke pinggir lapangan. "Aws--bangsat!" umpatnya kesal, tangannya terasa perih menahan berat badannya, guyuran hujan membuat Prilly basah, menunduk perlahan.

"Gue bisa laporin lo kapan aja, atas tindakan lo semua yang kelewat batas. Sialan!" Ali berlari, menadahkan tangannya di atas kepala Prilly, ia membantu Prilly bangkit, sambil menunjukkan tatapan sengit kepada empat gadis di belakangnya.

"Inget, Nat. Jangan bikin gue nyesel bisa kenal sama lo." Ali tersenyum miring, kemudian membantu Prilly duduk di kursi roda, lalu mendorongnya pelan.

Prilly hanya diam, ia kedinginan, kedua telapak tangannya mengepal mencari hawa panas. "Anterin gue ke Gio, Li." Prilly berkata, tanpa menatap wajah Ali.

Ali mencoba menahan emosinya, bagaimanapun ia harus bersabar untuk mendapatkan Prilly kembali. "Di mana?"

Prilly menunjukkan jalan, ke ruangan yang biasanya ia habiskan waktu dengan Gio. Prilly tersenyum kecil kepada Ali, "Sekarang lo bisa pergi, makasih."

Ali tidak menyangka Prilly akan setertutup ini, ia mengangguk perlahan, kemudian membalikkan badan, melangkah kecil sambil menggeleng tak terima diperlakukan seperti ini.

Hatinya hancur saat merasa dirinya tak lagi dibutuhkan, Prilly sudah mempunya lelaki lain, dirinya tidak berguna sekarang. "Ali!" Itu suara Gio, keluar dari ruangan itu sambil berlari kecil. "Kelas lo kosong, kan? Lo gabung aja sama kita di sini."

Ali menatap Prilly sebentar, kemudian mengangguk setuju. Membantu mendorong Prilly masuk ke ruangan gelap itu. Kesan pertama Ali berada di sini yaitu sangat mengagumkan. Ruangan kelas kosong, berisi banyak tumpukan meja dengan sedikit cahaya petir yang masuk lewat celah jendela.

Ketiganya terdiam di situ, tidak ada bahan obrolan yang tertukar. Prilly berdecak, "Apa yang bikin lo jarang ngomong sekarang, Er?" Gio menggeleng, kemudian melepas dasi yang terasa mencekik lehernya, "Badmood."

"Gue tau lo bohong."

"Oma sakit, bisnis Bunda sama Ayah lagi turun, bahkan hampir ancur, si Gea malah langsung ngasih tau ke Oma." Gio tidur terlentang, tanpa segan.

Sedangkan Ali hanya duduk terdiam, bisnis Papanya sedang jaya, namun terlibat hutang di mana-mana. "Gue bisa bantu lo, tapi pakai duit Papa."

Gio tertawa, "Itu urusan orang dewasa, Li. Buat apa kita ikut campur?"

BROKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang