Broke-4

2.4K 174 7
                                    

Vote sama komennya juga ya dear, hehe.

Terkadang, ocehan bisa membentuk motivasi. Bisa membantu lebih tegar, dan lain. Tetapi, ocehan juga bisa membuat terpuruk dalam keterbatasan diri.

Sesungguhnya, hidup memang sebuah pilihan, antara memilih menjalankannya sendiri atau bersaling kasih dengan yang lain.

Prilly menyeret tas-nya malas dengan keadaan basah kuyup di tengah jalan. Ia melihat kesana kemari, ia tak tahu mengapa jalan sepi malam ini. Mungkin ia terlalu lama bermain hujan tadi sore.

"Cape juga," lenguhnya mengusap peluh dipelipisnya.

Prilly duduk di pinggir trotoar, meluruskan kakinya yang sangat pegal akibat jalan kurang lebih 90 meter. Mobilnya tiba-tiba mogok di jalan, ia sempat mendorong mobilnya ke bengkel terdekat. Tapi ia melanjutkan perjalanannya karena hari mulai larut, ia takut Mami-nya akan memarahinya.

Prilly berdecak. Tidak adakah taksi atau kendaraan lain lewat sini? Ia bisa menumpang jika ada. "Huh," ucapnya sambil berdiri dan melanjutkan jalannya sambil tertunduk.

Klakson mobil membuatnya menoleh, seseorang keluar dari pintu sambil membawa payung di lengannya. Kaca mata hitam membuat Prilly susah mengenali orang tersebut.

"Eh bocah kentang!" ucapnya lantang sambil menghampiri Prilly yang dibuat bengong sebelumnya.

Prilly mengubah ekspresi wajahnya kembali datar, seolah tak peduli dengan objek didepannya. "Ngapain?" tanya Prilly malas.

"Lo dibuang sama om-om? Haha sedih ya," ejeknya yang kembali membuat Prilly memejamkan matanya. Apakah bisa sesosok Ali tidak menghinanya sekali saja?

"Kalo emang gak penting, gak usah nyamperin gue," balasan dingin Prilly membuat Ali terdiam sejenak. Kemudian Prilly melanjutkan langkahnya, memperdulikan Ali yang terdiam.

"Eh bentaran, gimana hasil lo malam ini? Mami lo juga gimana? Haha." Lagi dan lagi, ejekan kembali Prilly dengar. Prilly mengatur nafasnya yang mulai memburu.

Prilly kedinginan sekarang, ditambah hinaan Ali yang membuatnya tersulut emosi. "Gue gak tau apa salah gue ke elu, gue juga gak tau kenapa lo suka ngatain gue. You know is my name, don't know it story my life. Gue pikir, sebelom lo ngejudge gue lo harus mirror dulu," balas Prilly mencoba santai, menyampingkan emosi yang sempat memuncak tadi.

Ali kembali terdiam, ia hanya memayungi dirinya sendiri. Sedangkan Prilly, ia biarkan basah terkena alunan gerimis yang ritmis.

"Lo ngapain malem-malem disini?" Itu bukan kalimat hinaan, Ali merutuki dirinya sendiri. Harusnya ia tak bertanya seperti tadi, pertanyaan tersebut seolah memperhatikan bentuk ke khawatiran, bukan hinaan.

Prilly tersenyum misterius, lalu pergi begitu saja. Setelah itu ia berjalan sambil menundukkan kepalanya. "Seandainya lo semua gak nilai gue dari luar," gumamnya sambil terus melangkahkan kakinya ke arah jalan rumahnya.

Prilly tersenyum sumringah saat tiba di rumahnya, kaki yang sedikit pegal membuatnya harus sedikit demi sedikit menyeret nya ke depan pagar. Prilly memencet bel beberapa kali, namun tak kunjung ada yang membukakannya.

Pasti satpam rumahnya sudah pulang, atau Maminya yang pergi. Prilly kembali menatap pagar yang menjulang tinggi dihadapannya, lalu menghembuskan nafasnya gusar. Ia sedang lelah, apa ia juga harus memanjat pagar?

Prilly mulai membuka sepatunya, ia lemparkan terlebih dahulu kedalam pagar dan juga tasnya. Ia menyelipkan anak rambutnya, kemudian memanjat ke atas.

"Aw--ws" ringisnya saat kulit kakinya tergores ujung pagar yang tajam, menimbulkan darah yang lumayan terasa nyeri. Buru buru ia lompat, dan masuk kedalam rumahnya.

BROKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang