Sudah tengah malam, Prilly masih termenung di teras rumahnya. Ia meringis melihat hujan lebat disertai kilatan petir semesta. Jalanan sepi, hanya ada kesunyian yang menemani malam Prilly. Ia malas untuk beranjak, ia akan menunggu Kakek Tomi datang, apa pun hasilnya.
Prilly bergumam, "Hidup Prilly kacau ya, Pi." Memejamkan matanya, menahan gigilnya malam, karena ia belum sempat mengganti pakaian.
Andai waktu seperti hujan, berhenti sesuai kehendak, dan mengalir bersamaan, namun, apa daya, semuanya sudah berjalan, hapuslah angan, bahwa yang lalu tidak akan terulang.
Waktu semakin berjalan, Prilly yang kedinginan pun mulai masuk ke dalam rumahnya, ia menutup pintu perlahan. Menghirup udara rumahnya, yang beberapa tahun tidak terisi kebahagiaan.
Melewati figura poto satu-persatu, tersenyum, kala melihat keluarga kecil berpelukan. Perlahan, ketiga orang dipoto itu terpisah, berpose masing-masing, sama seperti keluarganya. "Hm," gumamnya, sambil menggeleng kecil.
Prilly duduk di sofa, wajahnya terlihat lusuh, pikirannya kacau, entah mengapa. Matanya yang sayup, dengan gertakan gigi akibat dinginnya malam. Telinganya menangkap suara orang yang sedang mengetuk pintu, diiringi suara hujan yang saling menyahut.
Prillu kembali berjalan ke arah pintu, sedikit rasa senang membuat hatinya kembali hangat, "Kak--Ali?"
Ia terkejut, mengapa Ali kemari? Ia kira, Kakek yang akan datang. Membawa berita pasal Maminya, dugaannya salah.
"Prill, gue boleh masuk?" tanya Ali hati-hati, jaketnya basah, bercucuran air. Prilly terlihat memutar bola matanya, "Sini," gumamnya.
Mereka duduk di sofa, Prilly masih setia dengan lamunannya, sedangkan Ali hanya memerhatikan Prilly. "Um--Lo nggak mau cerita sama gue? Atau nanya-nanya gue ke sini?" Ali berujar, bosan rasanya jika harus saling diam seperti ini.
Prilly menoleh, "Lo ngikutin gue, kan? Pura-pura khawatir sama gue, padahal modus, eh, nggak, maksud gue, padahal buat gali kisah gue, abis itu lo sebarin, basi tau nggak!" tukasnya.
Ali menggeleng, lalu terkekeh kecil, menghampiri sofa yang di duduki Prilly. "Jangan sotoy, Prill, gue tau lo lagi ada masalah. Mau cerita sama gue?" tawar Ali kembali.
"Tadi gue abis ngerayain hari ulang tahun, hari ulang tahun, yang belum tentu semua orang rasain. Awalnya gue bahagia, berakhir tragis, akibat ditangkapnya Mami." Prilly menunduk, rasa lega membagi cerita menjalar di tubuhnya. "Gue seneng, ternyata Kakek sama Tante Lexis masih inget sama gue, tapi, Mami jadi objek yang bikin semuanya hancur." Lagi, ia mengeluarkan air matanya, membiarkannya mengalir, mengeluarkan kesedihan.
"Mami ditangkap polisi, yang bikin pengunjung cafe pada ngeliatin, Mami nampar gue, Mami ikut pesta bebas, semuanya hancur, dalam sekejap." Prilly mengeluarkan isak tangis rapuhnya, menutup wajahnya dengan kedua tangannya, Ali di sampingnya turut miris, ia membawa Prilly kepelukannya. "Sst, gue tau lo kuat, lo bisa ngehadepin takdir lo, yang menurut gue istimewa ini," ujar Ali.
Prilly menggeleng dalam pelukannya, "Lo bilang apa, bodoh! Lo nggak ngerasain apa yang gue derita, semua orang seenaknya ngehina gue, tanpa tau latar belakang gue, kali ini gue akuin, gue rapuh, Ali, gue rapuh," gumamnya lirih.
Ali mengusap kepala Prilly, bahunya masih naik turun. "Maafin gue sebelumnya, gue harusnya nggak ngatain lo dulu, gue harusnya rangkul lo, bukan malah ngehina atau semacamnya. Gue nggak tau berapa kesedihan yang mampir di hidup lo, yang gue tau, lo kuat, lo mampu, lo hebat, Prilly." Ali semakin mendekap Prilly erat. Namun Prilly menggeleng, melepas pelukannya. "Sekarang lo udah tau, lo tau betapa rapuhnya gue. Gue mohon, jangan ganggu gue lagi, iya? Bilangin sama mereka-mereka, kalo gue nggak kayak yang mereka pikirin. Kali ini, lo bantu gue, bisa?" Prilly mengusap air matanya, ia menatap lurus ke depan.
"Pasti," jawab Ali yakin, ingin memeluk Prilly kembali, namun Prilly menahannya. "Kalo gue boleh jujur, gue jealous waktu lo sama Sonata, gue tutupin itu semua. Gue kayak nggak tau diri, ya, Li? Main ngakuin itu seenaknya, terserah, lo mau bilang gue apa, yang penting, gue sakit hati. Gue juga nggak tau, gimana bisa gue cemburu sama lo. Tapi tenang, gue bisa atasin ini sendiri, sana, cari bahagia lo. Semoga lo nggak pernah sedih, ya, Li." Prilly menunduk, ia merasa harga dirinya turun, namun, apa salah jika ia melakukan ini untuk melegakan perasaannya?
Ali sedikit tidak percaya dengan pengungkapan Prilly, ia merasa dirinya bodoh, telah melukai perasaan gadis itu. "Lo nggak salah, Prill. Gue yang bego, bikin lo sakit hati, gue makin ngerasa nyakitin lo bertubi-tubi, tau nggak, lo maafin gue, ya?" ujarnya, menggenggam tangan Prilly.
Prilly mengangguk kecil, bagaimanapun semuanya sudah terjadi. "Well, good luck, lo jangan pernah nemuin gue lagi," ucap Prilly tersenyum kemudian beranjak untuk pergi.
Ali menahan Prilly, "Nggak-nggak, gak bisa!" ucapnya, kembali menarik Prilly untuk duduk. "Gue mau bantu lo bangkit, gue mau jadi bagian di hari-hari lo, gue mau sama lo, izinin gue buat tebus semuanya, Prill," lanjutnya.
Prilly kembali menahan tangis, ucapan yang dilontarkan Ali sama sekali diluar dugaannya. "Lo punya Sonata, Ali."
Ali menggeleng, kemudian tersenyum kecil. "Lo tau berita jadian gue sama Natha doang kan ya, gue dipaksa sama sahabat bangke gue, Isal sama Reno. Awalnya gue nolak, mereka seenaknya nyuruh gue jadiin Sonata pacar--"
"Tapi lo suka dia, kan?"
"Gue suka lo, lo beda dari yang lain, dan gue cinta lo."
Prilly terdiam, ingatannya terputar kala mereka pacaran dulu, ia terkekeh, matanya menatap ke depan. "Lo jangan bodoh Ali, lo keluar dari rumah gue! Gue nggak sanggup buat terluka lagi, bahkan gue nggak mau," jawabnya, matanya kembali berkaca-kaca.
"Lo jangan nangis, Prill. Terserah mau percaya atau nggak, yang pasti gue cinta lo. Gue pulang dulu, ya. Lo kuat, sampai jumpa!" Ali mencium kening Prilly pelan, sempat ragu jika nanti Prilly akan memakinya. Namun, dugaannya salah, Prilly hanya diam, memejamkan matanya. "Gue balik dulu, dadah ...."
Ali sudah pergi, tinggal Prilly sendiri di rumahnya. Air matanya kembali mengalir, ia tidak tahu mengapa di hari ulang tahunnya banyak menangis. "Gue juga cinta sama lo," gumamnya.
Ia menatap langit-langit rumahnya, sepi, kelabu hitam seolah mengisi ruang dalam rumahnya, kesunyian terasa jelas. "Abu-abu, berganti wujudlah menjadi warna yang ceria, usir para kalbu yang sempat mengukir rasa. Kukira, hidupku nanti akan bahagia, tanpa gelisah yang menghantui singgah sana." Prilly tersenyum, menarik nafasnya dalam.
Cinta memang mampu membangunkan hati yang telah layu, namun, apa daya jika itu hanya melesat seperti angin berlalu. Genggamlah kepercayaan, bahwa sebuah Cinta mampu membuat rasa kembali tumbuh.
TBC! VOTE KOMENNYA GUYS, GAK DAPET SEDIHNYA YA?
-Bogor, 9 Februari, 2019.

KAMU SEDANG MEMBACA
BROKE
FantasyKita satu dunia, namun duniaku sendiri lebih menyenangkan dari pada dunia kalian. Menyendiri, kelam, menunggu keajaiban. -Decyla Prillyestie Ragana. #2 ALONE [10/05/19] #3 SADLIFE [07/04/20] #3 aliandosyarief [28/10/20]