"Yang bener dong Li, masa udah 3 kali ngulangin cuma gara-gara lo main gitar gak fokus!" tegur Isal kesal, ia lelah harus memutar intro dari awal hanya karena ketidak fokusan Ali.
Ali menarik nafasnya, kemudian memejamkan matanya. "Ayo kita mulai sekali lagi," ujarnya, kemudian memetik gitar.
Reno siap-siap memegang stick drum, baru saja pembukaan pertama Ali kembali salah. "Lo kenapa sih? Fokus kenapa!" tukas Reno kesal, ia memukul drum kencang.
Ali menggonjreng gitarnya asal, kemudian ia melepas gitar tersebut. "Gue pulang duluan," pamitnya.
Reno dan Isal mengerinyit, kemudian menatap satu sama lain. "Halah," gumamnya.
Ali kembali menjalankan motornya ke tempat dimana ia meninggalkan Prilly tadi. Derasnya hujan membuat ia menambah khawatir, ia terus saja mengumpat, mengapa ia meninggalkan Prilly sendirian?
Ia terus saja menelusuri jalan, sesekali melihat ke kanan dan kiri. Sepi, jalanan sepi. Pandangan Ali terfokus kepada seorang gadis yang sedang memeluk lututnya kedinginan. Meneduh di bawah rindangnya pohon.
"Prilly, sial!" ucap Ali, kemudian ia turun dari motornya. Membawa sebuah payung yang sengaja ia bawa.
Prilly menunduk, menikmati dinginnya guyuran hujan. Ia ingin pulang, tetapi ia tidak berani pergi sendiri.
Prilly merasakan ada yang memayunginya, ia mendongak. Mata Dark Brown miliknya beradu dengan Netra Hitam Legam milik Ali. Ia terus saja terkunci dengan pandangan teduh milik Ali.
Tangan Ali terulur untuk membawa Prilly berdiri, dengan senang hati ia mengambil uluran tangan Ali. Ia tersenyum, kemudian memeluk Ali erat.
"Gue kira, gue bakal tetep di sini sampai pagi," gumam Prilly lirih, ia mendongak, menatap Ali yang tengah tersenyum kecil padanya.
"Gue boleh bilang mustahil?"
"I see," ucap Prilly, kemudian kembali memeluk Ali.
Ali terkekeh, ia tidak fokus latihan band akibat pikirannya selalu saja melayang kepada Prilly. Ia merasa khawatir meninggalkan Prilly sendirian.
"Ayo, gue anter pulang," ajaknya.
Prilly terdiam sebentar, melihat turunnya gemericik hujan yang beradu dengan aspal. "Lo gak latihan?" tanya Prilly.
Ali mengindikkan bahu, "Kepikiran elu, ayo ah balik," ucapnya.
Prilly tersenyum kecil, kemudian ia naik di jok belakang motor Ali, memeluk Ali dari belakang. Entahlah, ia seperti tidak punya rasa malu sekarang.
Mereka sampai di rumah Prilly, pagar terbuka, entah apa yang terjadi di dalam rumahnya.
Ali menarik Prilly untuk masuk, ia mendengar suara musik yang sangat mengganggu. Prilly menggeleng, tersenyum kecut. "Mending lo pulang, Li," ucapnya, ia tahu, pasti maminya sedang berpesta dengan teman-temannya.
Ali menggeleng cepat, "Gue mau anterin lo sampe dalem," ucapnya.
"Lo mau nanggung akibatnya?"
"Demi lo, kenapa nggak?" Prilly merasakan hangat saat mendengar ucapan Ali, ia tersenyum kecil. Setidaknya, ia tidak merasakan sendiri lagi.
Ali tertegun, ia terkejut dengan apa yang di lihatnya. Sebuah rumah sepi, sunyi, di sihir menjadi tempat layaknya diskotik. Perempuan genit berada di sana-sini, membuat Ali bergidik ngeri.
Prilly memejamkan matanya, menggenggam erat tangan Ali. "Kan, apa gue bilang," ucapnya.
"Ayo, gue anter lo ke kamar," ajak Ali, ia mengendap-endap saat menarik Prilly untuk naik ke tangga.
Prilly tersenyum, ternyata Ali sangat peduli dengannya. Mereka berhasil masuk ke dalam kamar, Prilly buru-buru mengunci pintu.
"Makasih buat hari ini Li, gue seneng," ucapnya, seraya rebahan di atas ranjang miliknya.
Ali tersenyum, kemudian menganguk. Ia meneliti setiap inci kamar Prilly, kamarnya damai, tidak ramai seperti remaja biasanya. Hanya ada satu buah bingkai foto besar, meja belajar, dan sebuah lemari.
"Ini Papi lo?" tanya Ali, ia menemukan foto keluarga bahagia.
Prilly tersenyum luka, kemudian ia duduk, memangku sebuah bantal. "Papi, yang juga jadi king permen loli gue," ucap Prilly.
Ali ikut duduk di ranjang milik Prilly, menatap Prilly, kemudian tersenyum. "Lo, cantik," pujinya, ia terus saja memandang Prilly.
Prilly terkekeh pelan, ia membalas tatapan Ali. "Lo tau hidup gue sebelum lo dateng gimana? Muram Li, semuanya abu-abu. Gue hidup, tapi serasa nggak punya nyawa. Setiap hari gitu-gitu aja," Aku Prilly, ia mencoba sedikit terbuka dengan Ali.
Ali merasakan kesedihan di setiap nada bicara Prilly, ia mengelus bahu Prilly. Ali tahu, Prilly rapuh, Prilly lemah, jadi, Ali akan mencoba untuk memberi warna pada hidup Prilly.
"Lo tidur mending, cuci muka, cuci kaki, gih," titah Ali, Prilly mengangguk, ia membawa baju tidur ke kamar mandi.
Ali terkekeh, ia berjalan ke arah balkon kamar Prilly. Ia bisa merasakan apa yang Prilly rasakan, mengharapkan kasih sayang dari sang Ibu. Namun, Ibunya hanya acuh saja. Prilly mungkin lelah, apalagi di tambah hinaan yang dulu ia sering lontarkan. Ah, ini sungguh lelucon.
"Udah selesai?" tanya Ali, ia melihat Prilly dengan piyama tidur nya. Rambut sebahunya di biarkan terurai, yang menambah kesan lucu pada dirinya.
"Ayo, tidur. Gue bakal pulang kalau lo tidur," ucap Ali, ia duduk di sofa.
Prilly mengangguk, menenggelamkan dirinya pada selimut tebal, memejamkan matanya. Ia merasakan lelah, jadi, ia langsung terpejam.
Ali tersenyum, begitu menggemaskan sekali gadi di depannya ini. Ia berdiri, sedikit menunduk, mencium dahi Prilly pelan. "Good night, darl," ucapnya, seraya mematikan lampu. Membiarkan lampu tidur yang menemani malam Prilly.
Ia keluar kamar, menutup pintu perlahan. Menarik nafasnya pelan, ternyata pestanya belum usai. Sekarang, bagaimana caranya ia bisa lolos dari pesta laknat itu.
Ali mengendap pelan, melihat wanita murahan yang melenggak-lenggokkan bokongnya. "Sial!" gumamnya, ada yang menyenggolnya.
"Ayo, sini. Kamu ngapain di situ?" ucapnya, membelai pipi Ali pelan.
Ali melepas paksa lengan wanita tersebut, ingin berlari, namun jaketnya di tarik. "Lepas!" ucapnya, menyebalkan.
"Sini, duduk sini, ayo!" Perempuan itu menarik Ali untuk duduk di sofa diantara mereka.
Menyodorkan minuman beralkohol kedepan wajah Ali. "Apa-apaan sih," ucap Ali.
"Oh, my Ali!" Daisy, Mami Prilly datang, bergelanyut manja di lengan Ali.
"Tante, lepas, please!" ucap Ali, ia merasa risih di sini.
"Ayo, minum ini," tawarnya, ia terus memaksa Ali untuk meminun segelas itu.
"Nih, aku aja minum hahahaha."
Ali berdiri, sudah cukup ia terjebak di sini. "Permisi tante, tolong, Ali mau pulang!" ucap Ali.
Mami Prilly menarik Ali, untuk kembali duduk. "Ini minum, ayo!" Daisy menyedak mulut Ali dengan paksa. Membuat Ali terpaksa menerima tegukan tersebut.
"Maafin gue, Prill," gumamnya.
Daisy merasa berhasil, ia mengajak Ali untuk menari bersama temannya. Ali tidak menolak, akibat pengaruh alkohol tersebut.
"Hahaha, ayo minum lagi," ajak perempuan lain, mengocok sebotol minuman, kemudian membukanya. Meminumnya bersama, seraya Ali ikut minum.
:(

KAMU SEDANG MEMBACA
BROKE
FantasyKita satu dunia, namun duniaku sendiri lebih menyenangkan dari pada dunia kalian. Menyendiri, kelam, menunggu keajaiban. -Decyla Prillyestie Ragana. #2 ALONE [10/05/19] #3 SADLIFE [07/04/20] #3 aliandosyarief [28/10/20]