Ali berdiri membelakangi Prilly, ia merentangkan tangannya di tengah lapangan. Prilly yang tak tahu harus apa pun diam mematung di belakangnya.
"Apa yang lo mau?" ucap Prilly lantang, suaranya menggema di lapangan itu.
"Gua ngerasa jadi cowo bego kalau ngebiarin elu ambil kuasa atas hubungan kita," ucap Ali dingin.
Prilly yang tidak mengerti pun maju selangkah, menyatukan alisnya, ia sama sekali tidak paham dengan apa yang di maksud Ali. "Jadi lo keberatan? Fine, kenapa nggak putus aja?" Prilly menyeringai, menaik turunkan alisnya.
Bagaimanapun ia harus tetap tegar di depan seorang pria, meskipun sama sekali hatinya tidak menerima ini, namun, apa salahnya mencoba?
Ia harus siap, kembali kehilangan sosok yang pernah ada dalam hidupnya. Kembali terdiam, tidak memiliki teman.
"Lo kenapa kalau ngambil keputusan nggak mikir panjang?" tanya Ali, berbalik, menatap Prilly.
Prilly memalingkan wajahnya, "Kalo lo ngerasa di begoin gua, kenapa lo seolah nggak nerima?"
Hening, mereka terdiam beberapa saat.
"Gue ngerasa di budakkin lo tau nggak, gue ngerasa, lo sengaja biar gua ngejar-ngejar lo. Well, gua baik, lo malah ngelunjak."
Prilly memejamkan matanya erat, salahkah tingkah lakunya kemarin?
Kembali, hanya hembusan angin yang menerpa keduanya. Diam membisu, takut akan membuka suara.
"Gue rasa kalau gue salah nempatin hati, haha. Mulai sekarang lo bebas, lo bertindak aja semau lo. Dan, soal berita kemarin gue berani sumpah kalau bukan gue pelakunya," ucap Ali, kemudian berjalan pelan meninggalkan Prilly.
Bagaimanapun, Ali sudah berusaha untuk membersihkan nama baik Prilly. Tapi, mungkin ini saatnya Ali bertindak, untuk meninggalkan Prilly.
Prilly menggeleng kuat, mengapa rasanya menyakitkan? Ia seolah kehilangan warna hidupnya lagi, dan ini mungkin akibat perbuatannya. Prilly menunduk, kembali meratapi nasibnya yang malang.
"Gue cinta sama lo," ucapnya pelan, matanya memanas, ia ingin menangis, namun, ia tahu tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi.
Ali di depan tersenyum kecil, ia mampu mendengar ucapan Prilly. Namun, ia tidak berbalik, ia melanjutkan langkahnya. Setidaknya, perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.
...
Prilly dan Gio sedang makan di kantin, mereka berdua sibuk dengan pesanannya masing-masing. "Lo laper banget kayaknya, Prill."
Prilly berdecak, kemudian menatap Gio malas. "Ga kedengeran, paket suara lo limit," balas Prilly.
Ia melanjutkan makannya, sesekali menatap pintu masuk kantin. Dilihatnya Ali dan dua orang temannya sedang bercanda gurau.
Ali menatapnya, tatapan mata Ali seolah mengatakan ia tidak peduli. Ali hanya menatapnya sekilas, menganggap dirinya tidak ada di sana.
"Si Sonatha mau masuk osis juga katanya," ucap Isal, sambil meminum aqua gelas di tangannya.
Reno memelototkan matanya. "Aslian lo? Gua juga mau masuk osis kalau gitu," pekiknya.
Ali menggelengkan kepalanya, ia kenal dengan Sonatha. Sonatha adalah mantan gebetan Ali tahun lalu. Mereka bersama-sama, namun mulai menjauh ketika Ali memutuskan untuk fokus belajar. Ah, ini hanya rekayasa Ali saja, tentu saja hanya alasan semata.
Namun, ia sedikit menyesal telah meninggalkan Sonatha yang amat baik, hubungannya dulu pun di dukung kedua temannya. Tidak seperti Prilly.
"Palingan, tuh si Ali flashback haha," timpal Isal.
Ali hanya ikut terkekeh, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Karena ada Prilly di situ, ia hanya mengikuti apa yang dikatakan temannya.
Prilly menatap malas saat mendengar obrolan Ali dan teman-temannya. Kemudian meminum rakus minumannya, berdiri dengan gaya angkuhnya.
"Lo mau kemana dah? Ini belom di bayar," kata Gio.
"Gak mood gue," balas Prilly, kemudian pergi meninggalkan Gio sendiri.
Isal yang melihat Prilly keluar kantin pun berniat untuk mengikuti Prilly. "Sebentar, gue ke toilet dulu," ucapnya.
Isal berlari mengejar Prilly, menyesuaikan langkahnya, dan berdehem. "Em, lo kenapa btw?" tanya Isal so akrab.
Prilly menatap malas, kemudian melanjutkan langkahnya.
"Gue cuma mau ngasih tau, kalau bukan Ali yang bikin nama lo kotor."
Prilly mematung, ia terkejut, lalu siapa jika bukan Ali? Perlahan, ia berbalik menatap Isal yang sedang menyeringai.
"Siapa?" tanya Prilly pelan.
Isal melangkah lebih maju, hingga berhadapan dengan Prilly sekarang. "Sebelumnya, gue ucapin selamat atas hancurnya hubungan kalian. Hahaha."
"Gak usah banyak bacot, bilang, siapa yang nyebar fitnah itu?" tanya Prilly tak santai.
"Lo kenapa kalau ngobrol sama gue emosi mulu?" Isal tersenyum mengejek.
Prilly menarik nafasnya, benar saja, Isal memang membuatnya emosi. "Siapa bangsat!"
"Gue, sama Reno."
Prilly menggelengkan kepalanya, perkiraannya salah. Ia salah, menduga Ali yang memang bukan pelakunya. Ia merasa bersalah kepada Ali. Ia menatap tajam Isal, tatapannya tersirat kebencian.
Suara tamparan jelas terdengar, Prilly tersenyum picik. Kemudian menatap Isal, "Segitu bencinya kalian sama gue?" tanya Prilly.
Isal tersenyum puas, tertawa, meskipun pipinya sedikit ngilu. "Makannya, jangan bertindak seolah lo nantangin gua."
"Takdir anak wanita penghibur itu nggak bagus, balik lagi lo mending, jadi embrio," lanjutnya.
Prilly mengepalkan tangannya, emosinya benar-benar memuncak. "Hina gue Sal, hina gue! Keluarin ejekan lo yang murahan itu, keluarin! Kalian semua nggak ngerti perasaan gue, gue juga mau bahagia, Sal. Padahal, seinget gue, gue nggak pernah sekali pun ngurus hidup lo, tapi apa? Lo seolah nyingkirin apa yang seharusnya gue dapet. Gue ngerasa jadi manusia paling sial di bumi, Sal," amuk Prilly akhirnya, ia menangis, menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Isal berdiam diri, ia tidak tahu apa yang harus di lakukannya. Ia sudah membuat seseorang menangis, apa ia begitu jahat?
Prilly mendongak, dengan air mata yang masih menbasahi wajahnya. "Sekarang, lo masih belum puas? Cara apa lagi yang mau lo pake, buat ngejatuhin anak wanita penghibur ini?" Prilly tertawa hambar, kemudian menghapus kasar air matanya.
"Gue harap, ini terakhir kalinya lo ganggu hidup gue, termasuk kedua temen lo juga."
Prilly berlari ke toilet, ia menumpahkan tangisnya di situ. Begitu rendahnya dirinya di mata orang-orang.
"Hei, lo kenapa?" Seorang perempuan cantik bertanya saat Prilly masuk toilet dengan terburu-buru.
"Lo gapapa?" tanyanya, sambil mengetuk pintu toilet beberapa kali.
Prilly di dalamnya pun terdiam, menghapus air matanya, kemudian keluar dengan tersenyum kecil. "Gapapa," balasnya, lalu berjalan ke arah kaca. Membenahi rambutnya yang sedikit berantakan.
Perempuan tadi menghampiri Prilly, menatap Prilly di pantulan kaca. "Lo cantik, coba aja nggak nangis," ucapnya.
Prilly hanya meliriknya sekilas, kembali membenahi matanya yang masih tersisa genangan air.
"Lo kenapa nangis?"
Prilly memejamkan matanya, tidak berniat menjawab pertanyaan perempuan tadi.
"Hei, lo kenapa nangis?" tanyanya kembali.
Prilly berbalik, menatap tajam perempuan tersebut. "Gue bilang gak apa-apa ya nggak apa-apa, kok lo risih," balasnya dingin.
Perempuan tadi tersenyum. "Oh, okay, btw nama lo siapa?"
Prilly menatap uluran tangan perempuan tersebut, kemudian berjalan pelan keluar toilet.
"Gue Sonatha."
HOHO VOTE SAMA KOMENNYA YA, THANKYOU:')
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKE
FantasyKita satu dunia, namun duniaku sendiri lebih menyenangkan dari pada dunia kalian. Menyendiri, kelam, menunggu keajaiban. -Decyla Prillyestie Ragana. #2 ALONE [10/05/19] #3 SADLIFE [07/04/20] #3 aliandosyarief [28/10/20]