Broke-20

1.8K 153 20
                                    

"Gue emang buruk, gue bakal coba nutupin keburukan gue, terus kalian gampang banget buat nguliknya? Banyak, gue coba, jawab semua yang kalian pikirin tentang gue. Tanpa dendam, atau seistilahnya." Prilly memejamkan matanya, terduduk lemah pada kursi kayu berlumut.

Tadi, pagi tadi dirinya mencoba menghibur diri sendiri berjalan dengan kursi roda. Namun, entah mengapa ada dua orang lelaki yang membawanya ke tempat ini.

"Isal, lo nggak mikirin kalau lo gak lepas tas gue kemarin? Gue keseret, kaki gue abis gegara beradu sama aspal. Lo nggak ngerasain sakitnya, gue malu, gue ngerasa terhina secara nggak langsung," ujar Prilly, matanya berkaca-kaca, menatap Isal dan Reno yang sedang berdiri, tanpa membuka suara.

"Bahkan gue kira, bukan kalian yang lakuin. Gue masih nilai kalian orang baik, sumpah. Tapi apa yang kalian bales sama gue? Kalian gangguin gue nggak ada abisnya, mau sampe gue mati?" Prilly terisak, luka kakinya belum sembuh, ia harus terikat pada rumah tua ini.

"Lo cukup bilang benci gue, gue bakal ngejauh! Nggak usah pakai cara bodoh yang nggak masuk akal, jatuhnya malah nyelakain orang lain. Andai lo semua tau, hidup gue nggak semenarik yang kalian kira, kalau bisa milih, gue nggak mau sendirian. Gue capek, Ren! Asli, gue capek, mimpiin bakal datang orang, bakal bantu benahin hidup gue yang udah ancur." Prilly menatap langit-langit, berharap ucapannya membuat Isal dan Reno sadar.

"Lo tau? Semenjak lo hadir, lo jadi benalu tau nggak? Lo seolah pengaruhin Ali biar waktunya buat lo doang--"

"I see, bukannya gue udah nggak sama Ali lagi? Gue sadar kehadiran gue ngerepotin, gue pernah berharap kalau gue bakal punya temen. Temen yang bener-bener nggak munafik atau punya niat jahat ke gue. Salah, gue pengen hidup gue berwarna? Salah, ya, gue, anak wanita penghibur minta orang buat usir rasa sepi gue?" ujar Prilly pelan, dagunya bergetar.

"Kalian sadis, gila, gue butuh temen, bodoh! Bukan minta di celakain!" amuk Prilly, dadanya naik turun.

"Sekarang lepasin gue, bisa?"

Isal terkekeh, "Lo gak usah cari perhatian Ali lagi, selama lo nggak deketin Ali, gue gak bakal nyelakain lo."

"Dan lo sadar sama yang lo lakuin ke gue itu berlebihan? Gue bisa aja balas dendam atas apa yang lo perbuat, cuma gue manusia, gue nggak mau orang ikut menderita, kayak yang gue alamin." Prilly tertawa hampa, "LEPASIN GUE ANJING!" pekiknya kencang, sehingga seorang perempuan datang, membawa pistol ditangannya.

"Sonata," gumam Prilly pelan, matanya sedikit berbinar, "Lo juga di pengaruhin sama omong kosong mereka?" lanjutnya.

Sonata terkekeh, menghampiri Prilly, menekan luka pada kakinya, "Awss--,"

"Sakit, Queen?" tanyanya, kemudian tertawa hambar. "Lo bodoh Prilly, lo bodoh! Gue bisa aja ancurin muka lo!"

"Apa yang mereka bilang, Sonata? Gue kira lo baik, ternyata lo licik," ucap Prilly penuh penekanan.

"LO BAKAL ANCURIN HUBUNGAN GUE SAMA ALI, KAN?"

Sonata mencengkeram pipi Prilly, sehingga membuat sang empu mengaduh kesakitan. "Awss! Lepas--sin gue...."

"Lo mau rasain peluru sekarang atau jeda dulu? Percuma lo hidup, nyusahin orang!" timpal Reno.

Mata Prilly berkaca-kaca, rambutnya kusut, wajahnya pucat pasi, rasa ngilu disekujur tubuhnya semakin menjadi, ia mencoba melepas tali yang mengikatnya. Terlepas!

Prilly berlari, dengan tertatih, kakinya semakin hancur, karena ia paksakan untuk berpijak. Namun, sebelum sampai pintu keluar, ia sudah tumbang duluan. Dengan senang hati, Isal menggendong Prilly kembali.

"Tembak gue, tembak."

Sonata menggeram, hendak meloloskan pelurunya ke bagian jantung Prilly, namun, seseorang menggebrak pintu, mendorong bahu Sonata hingga tembakannya meleset. Ali.

Ali sedang berlari, napasnya terengah-engah, menghampiri Prilly yang terlihat lemas. Lalu memeluknya, memapahnya berdiri.

Menatap sengit kedua sahabatnya, dan kekasihnya, Sonata. Sonata seperti mati kutu, ia melepaskan pistolnya, perlahan berjalan mundur. "Ini norak bangsat! Mau lo semua apaan, hah? Bikin dia mati? Kampungan!" Ali berujar, dengan nada dinginnya, kemudian berbalik menatap ketiga orang munafik di depannya itu.

"Segitu sayangnya lo semua sama gue, sampe rela bikin orang jadi korban, iya?" Ali mengambil pistol yang dilepas Sonata tadi, kemudian meniupnya perlahan, "Bisa aja, gue yang bakal tembak kalian satu-persatu. Tapi sayang, gue gak jahat kayak kalian," ucap Ali tenang, namun mampu membuat semuanya diam.

"Ada anggota baru? Sonata! Lo tergolong jahat ternyata, sumpah gue gak nyangka, KITA PUTUS!"

Sonata menggeleng, memeluk Ali, nemun Ali buru-buru menepis tangan menjijikan Sonata dari tubuhnya.

"Gue mohon, Ali. Gue di suruh Isal sama Reno, gue nggak mau kita udahan," pintanya, menatap nyala ke arah Prilly yang sedang memeluk dirinya sendiri, "Ini semua gara-gara lo!" tudingnya.

"Gue nggak habis pikir sama kalian, gue kecewa sama lo, Sal, Ren. Lo berdua keji, mentingin diri sendiri, sama halnya kayak bajingan gak tau malu, jangan pernah temuin gue lagi." Ali mendekap Prilly dari samping, membawa Prilly berjalan perlahan untuk keluar dari tempat terkutuk itu.

Isal dan Reno menjambak rambutnya, menyesali apa yang telah ia perbuat. Sedangkan Sonata mengumpat dalam hati, bahwa dirinya harus menyingkirkan Prilly.

...

Di dalam mobil, Ali sedikit khawatir, "Lo nggak apa-apa?" tanyanya, Prilly menggeleng kemudian tersenyum. "Jangan jadiin berteman sama gue trauma, Prill. Lo ngomong," pinta Ali.

Prilly tersenyum kecil, kemudian mengangguk. "Makasih," ujarnya pelan.

Ali memerhatikan wajah Prilly, perban kepalanya sedikit terbuka, kemudian tangannya membenarkan perban tersebut, sambil ditiup menggunakan mulutnya. "Maafin gue, Prill. Gak seharusnya ini terjadi sama lo," ucap Ali, merasa bersalah.

"Gue mau nangis, Ali." Prilly menunduk, keadaan yang membuatnya rapuh untuk ke dua kalinya di hadapan Ali. "Gue ngerasa terhina, sama cacian temen lo," ujarnya sedikit terisak.

"Liat gue, Prilly. Lo pasti tahan, gue jamin, lo nggak bakal denger bacotan mereka lagi. Lo istimewa, gue yakin lo kuat," ucap Ali, menggenggam sebelah tangan Prilly, yang satunya sibuk menyetir.

"Gue nyariin lo, lo kalau mau apa-apa minta tolong sama gue aja."

"Gue nggak mau banyak ngerepotin orang, soal biaya rumah sakit, nanti gue gantiin uang lo." Prilly tersenyum sebentar, kemudian tatapannya kembali kosong.

"Gue pernah mikir, kenapa bahagianya gue nggak berlangsung lama? Kayak, waktu hari ulang tahun gue, Mami pergi, Mami seolah objek penghancur jalan bahagianya gue. Kemarin lusa, gue ngerasa punya teman, sekarang, gue celaka. Gak adil, ya, Li?" gumamnya pelan, namun mampu Ali dengar.

Prilly sengaja, tidak menyebutkan Ali dalam daftar bahagianya, cukup, ia merendahkan diri.

"Lo percaya setiap apa yang lo alami, bakal ada balasannya? Gue yakin, kehidupan lo nanti, bakal lebih dari bahagia."

BROKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang