"Gila ini man, asli. Lo kenapa pacarin Prilly yang jelas-jelas cupu itu?" gertak Isal tak percaya, ia mewawancarai Ali di kantin.
Ali memutar kedua bola matanya malas, selalu saja ini yang di perbincangkan. "Gue tertarik, dia unik. Puas?" balas Ali dingin, namun mampu membuat Isal terdiam.
Reno berdecih, ia bangkit kemudian melipat kedua tangannya di dada. "Lo ada tujuan lain kan?" tudingnya, Ali menatap Reno tak mengerti.
Reno tertawa hambar, kemudian memukul bahu Ali pelan. "Haha, lo sadis bro!"
"Tujuan apa maksud lo?" balas Ali.
Demi apapun Ali tidak mempunyai niat untuk hal lain. Ali menjadikan Prilly pacarnya hanya tertarik, meskipun Ali belum merasakan Cinta yang sesungguhnya tetapi ia mencoba untuk terbuka dengan Prilly.
"Malam ini jam setengah tujuh, kita latihan di studio biasa," timpal Isal.
Ali mengangguk lalu mengangkat bahunya acuh.
Pandangan warga kantin membuat Prilly minder, tetapi ia melanjutkan langkahnya. Prilly menunduk, memasukkan kedua telempapnya ke dalam kantung jas.
Ia duduk di samping Ali tanpa persetujuan siapapun. Reno dan Isal menatap Prilly sengit, seolah berkata enak aja main duduk tu orang.
Prilly menenggelamkan wajahnya di atas meja, ia sangat lemas sekarang. Ia butuh teman, namun, tidak ada yang mau berteman dengannya. Jadi, siapa yang harus ia temui? Jika bukan Ali, kekasihnya.
"Cih, drama, paling minta iphone ke om-om gak di kasih, eh lari ke Ali," sindir Reno tajam.
Namun Prilly sama sekali tidak terusik, ia lelah jika harus meladeni satu persatu orang yang menghinanya.
Ali menatap tajam Reno, kemudian mengusap kepala Prilly lembut. "Lo kenapa?" tanya Ali.
Ali merasakan Prilly menggeleng pelan, namun tubuhnya bergetar, seperti terisak. "Lo nangis?" Kembali, Ali merasakan Prilly menggeleng.
Prilly rapuh, Prilly lelah dengan semuanya, Prilly sangat amat berada dalam kebersamaan. Sebenarnya, apa salah Prilly Tuhan? Prilly ingin normal, ia tidak mau di hujat.
"Hati-hati nih ya Li, lo dimanfaatin dia, secara lo kan tau emaknya dia ya ... anu lah ya hahaha." Isal tertawa di susul Reno.
Prilly panas, ia mendongak, menggebrak meja, menatap keduanya satu persatu. "Lo pikir Mami gue apa hah? Santai bro, kalo emang gue mau manfaatin orang ya gue pilih-pilih. Ini Ali gengs, ya lo pikir lah bodoh! Ali yang pengen gue jadi pacarnya, kalo semisal gue mau manfaatin Ali ya pasti gue dong yang ngemis-ngemis ke dia?!" Prilly menarik nafasnya, mencoba menetralkan emosinya.
"Ya kan lo pake cara lah pasti biar Ali tertarik sama lo, gak mungkin kan Ali langsung gitu aja ngajak lo taken? Apa tuh sal?" Reno menaik turunkan alisnya.
"Pelet, hahaha." Keduanya tertawa.
"Bangsat!"
Reno dan Isal berlari dengan sisa tawanya, Percaya atau tidak, Prilly ingin menangis saat ini juga Tuhan.
Ali mengelus bahu Prilly pelan, badannya naik turun, menandakan ia tengah terisak sekarang. "Gue cape li, cape," katanya, Ali menggeleng.
"Lo kuat, gue tau lo hebat," balas Ali.
"Mau keluar? Kelas lo free kan?" ajak Ali, Prilly mengangguk setuju.
Kemudian sedikit menyisir anak rambut dengan jarinya, di bantu oleh Ali yang mengusap air matanya.
Berhentikan waktu, kali ini saja. Prilly merasakan di sayang, ini yang baru Prilly rasakan, yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa di pedulikan, Prilly bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
BROKE
FantasíaKita satu dunia, namun duniaku sendiri lebih menyenangkan dari pada dunia kalian. Menyendiri, kelam, menunggu keajaiban. -Decyla Prillyestie Ragana. #2 ALONE [10/05/19] #3 SADLIFE [07/04/20] #3 aliandosyarief [28/10/20]