Siswa dan siswi berpencar, jam sekolah sudah selesai. Prilly menghampiri Yora di seberang jalan, tepat pada gerobak telur gulung. Mungkin ia tidak perlu pergi ke kantor sementara, kemarin saja kehadirannya membuat Maminya jengkel.
"Yora!" sapa Prilly, berlari kecil ke pangkalan dagangannya. Yora tersenyum, "Eh, Prilly!" sapanya balik, sambil membuat telur gulung, karena lumayan banyak pelanggan.
Prilly diam, melihat kerja Yora yang begitu ulet. Tangannya lihai terhadap penggorengan dan kocokan telur. Tanpa malu, Yora membuka suara, "Mau coba buat?" tawarnya, Prilly menggeleng, "Nggak ah, nggak bisa."
"Yaudah sebentar, sebentar lagi aku selesai, tunggu aku, ya, Prilly," ucapnya, Prilly mengangguk.
Sekolah sudah sepi, gerbang hampir tertutup, ia melihat ada Ali di sana, sendirian. Biasanya Ali bersama Sonata, tetapi kali ini Ali hanya sendiri. Tersenyum kecil, dibalas tatapan tajam oleh Prilly.
"Ah, Prill! Lama, ya?" Yora duduk di kursi plastik sebelah Prilly. "Kok tumben ke sini, ada apa?" lanjutnya.
Prilly menggeleng, ia hanya ingin mengunjungi, lagi pula ia tidak membawa kendaraan. Jadi, ia mampir ke tempat Yora. "Nggak ada apa-apa, aku kepengen ke sini aja. Kamu cape banget kayaknya, ya?" tanya Prilly, sembari melihat peluh yang bercucuran pada dahi Yora.
Yora tersenyum, "Iya, semenjak Ibu Bapak meninggal, aku jualan ini. Kakak aku mana mau jualan kayak gini, dia cuma pengen uangnya aja."
Prilly tertegun, kasihan sekali Yora ini, waktu sekolahnya ia pergunakan untuk berjualan. "Yor, Kakak kamu perempuan?"
Yora mengangguk, "Iya, Teh Fara namanya. Kayak nggak bersyukur gitu, dia nggak mau temen-temennya tau kalau kita itu orang nggak punya. Mungkin malu kali, hehe," ujarnya.
Prilly melihat Yora yang menunduk, ia sadar bahwa orang lain di luaran sana hidupnya lebih miris, seharusnya ia bersyukur atas apa yang ia punya, bukan hanya mengeluh. "Ini, siapa tau bantu, terima ya, Yor!" Prilly memberikan uang yang tersisa kepada Yora.
Yora menggeleng, kemudian tersenyum. "Makasih sebelumnya, Prill. Tapi aku masih bisa jualan kok," tolaknya halus.
Prilly ikut menggeleng, "Nggak, ini buat kamu, tabung aja, dadah Yor! Aku pulang dulu." Prilly menaruh uang tersebut di paha Yora, kemudian pergi perlahan. "Makasih banyak Prilly!" ucapnya berteriak.
Prilly berjalan di pinggir jalan, jalanan begitu ramai. Membuatnya sedikit hati-hati. Tali sepatunya terlepas, yang membuatnya berjongkok untuk memperbaikinya.
Seseorang di dalam mobil berwarna putih menarik tas Prilly lewat jendela mobil, yang membuat Prilly terseret, dan menjadi tontonan kendaraan di belakangnya. Kaki dan pahanya berdarah, banyak yang berteriak, karena merasa ngilu melihat tubuh Prilly memar, Prilly membuka tasnya, yang membuat dirinya terlepas dari genggaman orang tersebut.
"Argh!" jerit Prilly setengah sadar, seragamnya banyak yang berlobang, akibat seretan aspal. Kakinya ngilu, dan bokongnya terasa sakit. Seseorang itu melemparkan tas Prilly, kemudian kabur begitu saja, meninggalkan Prilly dengan keadaan penuh darah. Prilly menunduk, banyak membaca doa di dalam hatinya, ini ketidak sengajaan. Tubuh Prilly terasa hancur, untung saja ia tidak tergeleng. Tuhan masih berpihak padanya, kemudian Prilly tak sadarkan diri.
Hingga orang-orang mengerumutinya, membawa raganya ke rumah sakit terdekat.
.....
Suara tetesan botol infusan mengisi keheningan kamar inap Prilly, kamarnya masih disatukan dengan pasien lain, karena warga yang menolongnya tidak mampu menyewa kamar kelas atas.
Luka di tubuhnya begitu banyak, kaki kanannya terdapat luka besar, yang membuat dagingnya sedikit menonjol. Wajah dan bagian lainnya hanya ada memar kecil, sunggu mengenaskan.

KAMU SEDANG MEMBACA
BROKE
פנטזיהKita satu dunia, namun duniaku sendiri lebih menyenangkan dari pada dunia kalian. Menyendiri, kelam, menunggu keajaiban. -Decyla Prillyestie Ragana. #2 ALONE [10/05/19] #3 SADLIFE [07/04/20] #3 aliandosyarief [28/10/20]