Broke-15

1.7K 132 6
                                    

Pagi itu sekolah di hebohkan oleh berita hari jadinya Ali dengan Sonata. Semua siswa berbisik ria di sepanjang koridor sekolah. Bak membuncang antero sekolah, sampai guru-guru pun tahu berita itu.

Prilly yang baru datang celingak-celingukan, ia bingung dengan keadaan sekitar. "Eh, kenapa sih?" tanyanya, kepada salah satu siswa yang melewatinya.

"Ali sama Sonata pacaran."

Prilly diam tak bergeming, berbagai besi panas seolah menusuk hatinya. Harapannya hancur. Ia berjalan sambil tertunduk, ingin menangis, namun ia rasa tidak pantas.

Ia berjalan di bawah rindangnya pohon belakang dekat gudang sekolah. Sepi, seperti suasana hatinya. Ini salahnya, ia harus memperbaikinya.

Isal dan Reno datang menghampiri, mengangkat dagu seolah berprilaku sombong. Tersenyum remeh, sesekali menghentakkan kakinya. "Lo kalah, bodoh."

Prilly mendongak, malas sekali rasanya melihat kedua orang iblis seperti mereka. "Gue gak ngerasa di saingi," ucapnya, memaksakan tersenyum.

Isal mendorong bahu Prilly, kemudian mengujar pelan, "Emang lo gak pantes, makannya jangan kebanyakan ngarep."

Prilly semakin memanas, metanya tersirat kemarahan. "Lo menang, guyn. Atas problem apalagi lo ganggu gue kayak gini? Bukannya semua udah clear, ha? Lo berdua mau apalagi?" geram Prilly.

Reno maju selangkah, menepuk kedua tangannya. "Lo pindah, lo jadi hama di sini. Oh, lo mati aja, gimana?" Reno tersenyum smirk.

Begitu mengganggunya kehadiran Prilly dimata semua orang.

Sebuah tamparan lolos mengenai pipi Reno, Prilly bernafas tidak teratur. "BANGSAT!" pekiknya hebat, kemudian berlari.

Ia melakukan ini, untuk dirinya juga.

Prilly berlari, menghampiri Ali dan Sonata yang sedang berduaan. Langkahnya terhenti kala matanya melirik tangan keduanya yang saling bertautan. Ia merasa bodoh.

"Ali," panggilnya pelan, ia memejamkan matanya.

Ali yang sedang tertawa dengan Sonata pun berhenti, berbalik menatap Prilly. "Kenapa?"

Prilly menarik nafasnya dalam, "Gue mau ngomong sama lo."

Ali menatap Sonata yang mengangguk kecil, kemudian berjalan selangkah lebih cepat dari Prilly. Berhenti tiba-tiba, membuat Prilly tertubruk dengan punggung Ali.

"Di sini aja, gue gak bisa lama-lama."

Prilly mematung, dingin sekali Alinya. Ah, apa?

"Maafin gue," ucap Prilly tertunduk, ia tidak mau salah jalan seperti kemarin, dengan maaf, mungkin dirinya sedikit lebih tenang.

"Itu doang?"

Ali bersiul, melihat kesana-kemari. Bukan bermaksud untuk membiarkan Prilly mengoceh sendiri, namun sekarang ia tahu batas, bahwa ia mempunyai seorang kekasih.

Prilly termenung, tidak tahu ingin memulainya darimana. Yang membuat Ali sedikit canggung akan suasana seperti ini. "Oke, gue cabut ya!"

"Sebentar, Ali!"

Prilly memegang tangan Ali, yang membuat Ali kembali berbalik. Ali melepas pelan genggaman tersebut, hanya kebetulan.

"Gue minta maaf kalo kemarin bikin lo risih, gara-gara gue nuduh lo asal. Dan sekarang gue tau, gue tau bukan lo yang mau malu-maluin gue. Tapi, temen lo." Prilly memejamkan matanya, sembari menggigit bibir bawahnya.

"Maksud lo?"

"Isal sama Reno."

"Cukup Prill, lo nuduh gue aja udah bikin gue muak. Dengan santainya lo nuduh temen gue? Gue gak habis pikir sama jalan otaklo, cabul. Lo mau baikan sama gue gak gini caranya, jangan bawa-bawa temen gue juga! Dasar lo, gak tau diri!" Ali membentak Prilly kasar, emosi kemarin-kemarin seolah kembali muncul.

Prilly mendongak, matanya berkaca-kaca. "Gue gak nuduh, Ali. Gue ngomong apa yang sebenernya. Emang dasarnya temen lo gak suka gue, jadi dia ngejatohin gue pake cara murahan. Biar gue sama lo putus. Gue ngerasa kalah, gue gak di butuhin, dan gue bodoh."

Ali mengusap wajahnya gusar, ia sedikit tidak tega melihat Prilly menangis. Namun dirinya harus bagaimana, mungkin membiarkannya saja.

Prilly tertawa hambar, dengan air mata di pipinya. "But thanks, terserah lo mau percaya atau nggak, yang penting gue udah ngomong yang sebenernya. Sekali lagi, makasih lo udah buat gue bangkit, dan jatuh secara bersamaan." Prilly berlari, menyeka air matanya. Berakhir sudah.

Ali yang masih tidak percaya pun menggelengkan kepalanya. Ingin rasanya memeluk Prilly yang kembali terlihat rapuh. Ia merasa menjadi lelaki bodoh yang membiarkan perempuan menangis.

"Maafin gue, Prill," gumamnya.

Gio datang, berdecak malas. Ia menyaksikan kejadian tersebut. Ia merasa tertarik akan dunia Prilly, oleh sebab itu ia selalu mengikuti Prilly. Gio melangkah, menghampiri Ali. "Lo salah bersikap kayak gitu, bor. Apa yang dia ucapin itu bener adanya. Gue harap lo gak cemen, guyn. Gue tau lo masih ada rasa sama dia, jangan ngikutin ego lo!" Memberi tepukan tiga kali di pundak Ali, kemudian berlalu menyusul Prilly.

Ali merasa bersalah.

Gio mencari Prilly, memutari sekolah, tidak bertemu juga. Ia membuka ruangan yang biasa tempatnya menghibur diri. Dilihatnya seorang perempuan yang sedang menunduk, sambil terisak kecil, Prilly.

"Ternyata lo yang paling sering ke sini ya," ucap Gio terkekeh.

"Maaf, gue pinjem dulu tempatnya."

"Its okay, gak masalah. Mau cerita sama gue?" tawar Gio.

Prilly menghapus sisa airmatanya, kemudian memeluk Gio erat. Menumpahkan tangisnya disana, Gio yang merasa tahu akan konflik yang Prilly alami pun mengelus bahu Prilly pelan.

"Jangan nangis, payah lo!" ucap Gio, melepas pelukannya kemudian menghampus airmata Prilly, sembari terkekeh kecil.

Mereka berdua duduk, berdampingan. Prilly menarik napasnya panjang, kemudian menatap Gio sebentar. "Gue ngerasa di asingin di bumi."

Gio menyatukan kedua alisnya, kemudian menatap Prilly heran. "Lo jangan ngerasa kalo lo sendiri, Prill. Gue bisangerasain apa yang lo rasain. Dan, maaf, lo broken?"

Prilly mengangguk kecil, terjawab sudah rasa penasaran Gio selama ini. Ternyata benar, di setiap lirikan mata Prilly tersimpan berbagai beban yang mungkin orang lain juga hadapi.

"Gue ngerasa di buang, gue ngerasa gak di butuhin, hidup gue sepi. Makannya gue suka nutupin semuanya. Diem, gue gak tau harus gimana." Prilly memainkan kuku harinya.

Gio tersenyum miris, mungkin dirinya harus bersyukur, mempunyai kedua orang tua lengkap. Berbeda dengan Prilly, yang sangat butuh penyangga atas segala bebannya.

"Kisah cinta sama kehidupan gue seolah kerja sama, buat gue sedih. Bahkan soal teman, gue juga gak punya sama sekali. Gue mau tinggal sama Kakek, tapi Mami ngancem gue. Gue terpaksa harus kayak begini mulu, tapi sampai kapan Er, sampai kapan?" lirih Prilly, kemudian menutup wajahnya, kembali menangis.

Gio memeluk Prilly dari samping, mengusap kepala Prilly pelan. "Gue tau lo bisa tahan semuanya Prill, gue tau lo hebat. Lo jangan sedih, bukannya gue udah bilang kalau kita temenan?"

Prilly tersenyum kecil, kemudian mengangguk. "Thanks buat semuanya, Er."

Gio tersenyum, "Lo suka Ali? Gue bisa bantu lo buat balik lagi sama Ali."

Prilly menggeleng pelan, "Nggak perlu, gue nggak mau nama gue makin jelek, gara-gara ngerusak hubungan orang."

Gio merasa Prilly berbohong, ia tahu Prilly masih mencintai Ali. Namun, ia peduli harga diri. Demi apapun, Gio berjanji akan membantu Prilly.

TBC, NEXT G? VOTE KOMEN YA THXUUU

BROKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang