Pada hari itu,
Guanlin merasa dadanya sangat sesak karena rasa bahagia. Ia melupakan segala kesakitan dan kesusahannya sedari kecil hingga dewasa, saat akhirnya ia dapat memeluk bayi mungil nan merah ke dalam dekapannya.
Kini, bayi mungil itu sudah tumbuh seiring berjalannya waktu. Guanlin mengulas senyum, ketika ia lihat gadis itu dengan penuh semangat berada di tengah-tengah lapangan basket sekolah, penuh semangat, mengoper bola, seolah membangkitkan kembali ingatan Guanlin dengan bagaimana ia beserta semangat yang sama dulu membawa bola oranye mendekat pada tiang tinggi jauh disebrang sana.
Jiayi namanya.
Matanya penuh kilauan, begitu fokus pada iringan bola yang berhasil ia giring dengan sempurna.
Mereka memiliki hobi yang sama.
Si oranye.
Basket.
Lagi-lagi, Guanlin tertawa kecil melihat buah hatinya mendesah kecewa ketika bola tersebut terhempas dengan tidak sempurna ke depan.
Tatapan mereka bertemu, Guanlin memberi aba-aba lewat tangannya, “Lemparnya ngga gitu, Kak!” ujarnya pelan, namun dengan mulut yang berusaha menjelaskan lebih pada Jiayi.
Jiayi di tengah lapangan hanya cemberut, namun tidak lama menjulurkan lidahnya meledek, “Udah tau!” balas gadis 13 tahun itu kepada sang Ayah.
Guanlin hanya bisa menghembuskan nafas dan menggelengkan kepala, Sifat Jiayi keras kepalanya satu itu persis Jihoon. Nggak mau dengerin apa kata orang.
Merasa percuma, Guanlin menyandarkan pundaknya pada bangku penonton sembari bersedekap dada. Tatapannya beralih pada Cassio yang melingkar apik di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 14.55, menandakan bahwa waktu pertandingan akan segera berakhir.
Sepertinya Jihoon lagi-lagi tidak dapat datang kali ini.
Guanlin yakin 100% akan terjadi amukan massal di rumah mereka nanti ketika Jiayi dan Jihoon bersatu padu dalam argumennya masing-masing. Maka, ia berinisiatif merogoh kantung jasnya dan memencet panggilan cepat yang langsung menampilkan nama istrinya disana.
Tuuuut—
“HALLO! BENTAR BENTAR!”
Sontak, Guanlin langsung menjauhkan telepon genggamnya dari telinga ketika suara disana langsung memekakkan telinga. “Lagi ngapain, sih?” jawab Guanlin, kembali menempelkan telepon genggamnya ke telinga ketika ia rasa telinganya baik-baik saja.
“Aku tuh lagi—” Jihoon berhenti sebentar, dan Guanlin menunggu dengan sabar. “—Suer, Kenan kenapa sih bandel banget, aku capek.” Bukan menjawab, istrinya itu malah mengeluarkan suara amat sangat lelah. Dapat Guanlin dengar ada suara orang lain yang ia yakini suara Kenan.
Putra nya yang baru saja memasuki kelas 1 sekolah dasar.
“Kenapa Kenan?” tanya Guanlin, sabar, tanpa memutuskan pandangannya dari Jiayi yang berhasil mencetak satu angka. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum bangga, lalu mengacungkan jempolnya, “Good job, girl!” Ujar Guanlin, meski ia yakin suaranya tidak sampai pada telinga putrinya.
“Nggak mau nulis, Ayah!”
Ah, Ayah. Pada awalnya baik Guanlin dan Jihoon sepakat mengajarkan Jiayi untuk memanggil mereka dengan sebutan "Papa-Mama," namun entah mengapa, Jiayi semakin besar justru lebih terbiasa memanggil Papanya itu dengan sebutan Ayah, ditambah Kenan yang pada saat itu baru belajar bicara lebih sering berbicara dengan Jiayi si bawel.
Maka jadilah, mereka mengubah panggilan sayang yang sudah mereka pikirkan dimalam-malam sebelum kelahiran Jiayi terganti dengan ke-sok-tua-an seorang Jiayi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Frode [[Panwink / Guanhoon]] ✔
Fanfiction[COMPLETED + BONCHAP + EXTRA] "Only your smile, able to fill the blank point in my heart," a Panwink fanfiction; ㅡAU; bxb; angst; mature content; harsh words; slight 180206 ㅡ 180323✔ High rank : was #34 in fanfiction ((180318)) ©Sillylife1...