26. Yang ada disisi

582 24 11
                                    

• • •

Dari sifatnya saja manusia memang berbeda-beda. Menghadapi suatu masalah mereka mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikannya. Dengan menuntaskan satu persatu atau bahkan menuntaskan dalam satu waktu. Tapi ada juga yang memilih menghindar. Menghindar bukan berarti mengalah pada keadaan, hanya saja mencoba mengulur waktu untuk siap mendapati kenyataan yang kadang tak sesuai dengan keinginan.

Kita makhluk bumi kan inginnya yang indah-indah. Inginnya yang membuat tawa di setiap sudut yang ada. Tapi sebenarnya tangis juga tidak selalu tentang kesedihan. Tangis bukan definisi kelemahan manusia meski tangis sering ada ketika perpisahan mulai menyapa.

Jadi untuk gadis yang enggan bersuara sejak jarum jam menunjukkan angka tengah malamnya, Sammy mencoba tak mengusik. Memilih bungkam meski banyak sekali pertanyaan yang timbul sejak kedatangan Alina tadi.

Ah, Alina. Sammy baru tahu jika gadis itu ternyata kembaran Alena. Tapi Sammy seperti melihat sebuah tembok besar yang memisahkan keduanya. Atau malah, tembok itu justru pertahan dari salah satunya. Cukup, ia tidak seharusnya berspekulasi sekarang. Karena ada yang lebih penting dari itu.

"Lo boleh pergi." Baru saja Sammy hendak mengutarakan maksudnya, ucapan Alena membuatnya ngeri. Apa gadis itu bisa membaca pikiran Sammy?

Cowok itu meringis melihat keadaan Alena kini. Ingin pergi tapi seperti ada paku yang menahannya untuk tetap di tempat ini. Tapi jika tinggal pun, apa yang harus ia lakukan untuk seseorang yang ingin menyendiri.

Dan pilihannya adalah mengangkat kaki dari tempat ini. Setelah meraih ransel dan kemejanya yang masih agak basah, Sammy berjalan menuju pintu. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat agar tidak menoleh lagi, tapi dasar otak tak sejalan dengan hati akhirnya ia memutar langkah dan menghampiri Alena yang masih memilih diam.

Berdiri di hadapan gadis itu, Sammy berkata, "kalau lo nggak sanggup, lo boleh nangis. Nangis bukan berarti lo lemah Alena." Ia menghela napas saat Alena tak juga memberi tanggapan, bahkan menatapnya pun tidak. "Gue pulang." Pamitnya.

"Tapi nangis nggak selalu bisa selesain masalah kan?"

Itu suara Alena. Sammy kembali memutar tubuhnya untuk melihat gadis itu. Matanya memerah dengan genangan air yang siap meluncur kapan saja jika kelopaknya berkedip.

"Seenggaknya itu bisa ngilangin sesak yang dari tadi lo tahan." Ya, seharusnya Sammy mengatakan ini sejak tadi.

"Tapi kalau nggak berhasil?" Suara Alena sudah terdengar bergetar.

"Seenggaknya, lo udah berusaha."

Dan sudah. Detik itu juga untuk pertama kalinya Sammy melihat bagaimana sisi rapuh seorang Alena. Menangis tanpa di tahan, meski terus memukul-mukul dadanya kuat.

Mengambil langkah lagi, Sammy mengisi tempat kosong di samping Alena sebelum menarik gadis itu dalam dekapannya. Bahkan ia bisa merasakan bagaimana dinginnya telapak tangan yang berada di punggungnya.

Tuhan, gadis itu benar-benar terluka.

• • •

Seolah takdir tak berpihak padanya, atau memang takdir tak pernah memihaknya? ah, Alena tidak tahu. Yang ia tahu baru saja ia merasa baikan setelah perjumpaan dengan Alina semalam, kini beberapa meter darinya Adam mencegat langkahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hello Sammy! (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang