~*~
Terkadang hati selalu risau saat perempuan yang kita cintai dekat dengan laki-laki lain. Namun hidup juga perlu tantangan.
Jika semua akan dimulai dengan kedekatan Wulan dan Hendra karena kemauan Pak Brata atau siapapun yang sedang dekat dengannya, aku akan mencoba untuk benar-benar hilang dari hadapan Wulan mulai hari itu juga. Benar! Aku egois! Namun mau bagaimana lagi?
Ada beberapa yang patut dicurigai saat pertama sampai kemari, yang pertama adalah orang yang hendak menjemput Wulan saat aku pulang dari Belanda. Dan yang ke dua, beberapa hari sebelum aku kembali ke Indonesia, Om Andhika meneleponku dan menanyakan hubunganku dengan Wulan karena sudah berkali-kali Om Andhika melihat Wulan diantar-jemput oleh seorang laki-laki.
Tidak mungkin jika itu, Julio. Karena dia berada di Belanda, mengikuti 'class anchore' denganku. Aku juga tidak ingin menuduh sebelum semua bukti kugenggam.
"Oman, tolong belikan garam di warung ya!" Teriak Mamak dari dapur.
"Iya, Mak," jawabku lalu beranjak dari kursi yang menjadi saksi puisi-puisi ku tertulis rapi di sini.
Warung Bu Nami paling dekat dari kost-ku yang berada di luar halaman kost, berhadapan dengan ruko-ruko dan toko buku milik Pak Brata.
"Buk Nami," panggilku di depan warung.
"Eh, Nak Roman! Kapan pulang?" Tanya Bu Nami.
"Dua hari yang lalu, buk."
"Oh, begitu.. mau cari apa? Sayur? Bawang? merica?"
"Saya mau beli garam, buk."
"Oh, garam, oke! Sebentar ya!" Ucap Bu Nami lalu jongkok untuk mencari stok garam yang beliau simpan.
Sambil menunggu, aku tak sengaja melihat seseorang dengan penampilan yang sama dengan orang yang menjemput Wulan saat itu, dia terlihat masuk ke toko buku milik Pak Brata. Penasaran memang, namun tidak mungkin juga aku langsung menemuinya.
"Ini garamnya," ucap Bu Nami menyadarkanku.
"Oh, iya.. ini buk uangnya, makasih!"
"Sama-sama, Roman!"
Sebelum emosiku bertambah, aku segera pulang untuk memberikan garam pada Mamak. Lalu izin pada Mamak dan Bapak bertemu kawan lama di sini. Ya, aku berbohong!
Buru-buru aku menuju ke depan toko tersebut, aku tidak ingin masuk. Memantau saja dari dinding kaca, orang itu terlihat membuka helm di depan tempat kasir. Belum jelas siapa dia, namun setelah jaket terlepas aku baru menyadari siapa orang itu.
"Jadi dia orangnya?"
Aku pun mengambil handphone dan mengetikkan pesan untuk seseorang yang hendak kutemui setelah ini.