~*~Tangan kekar Andhika membuka daun pintu kamar Wulan.
Gelap. Hanya cahaya dari luar kamar Wulan yang kini bisa menangkap dimana Wulan berada. Terduduk di lantai sambil memeluk lutut, pandangannya kosong ke depan, matanya sendu seperti tak tidur semalaman, "Kenapa Papa ngga bilang kalo Papa udah merencanakan ini sebelumnya?" Kalimat itu keluar dari mulut Wulan sebelum Sang Papa memanggilnya.Andhika menghela nafas panjang lalu menghidupkan lampu kamar Wulan. Lampu menyala, Wulan malah menenggelamkan wajahnya diantara lututnya, seolah tidak ingin Andhika khawatir dengan keadaannya.
Andhika mencoba melangkah lebih dekat dengan Wulan, duduk di sampingnya sambil menatap lurus ke depan. "Terkadang rencana kita tidak seindah rencana Tuhan, kamu hanya perlu bersabar," sambung Andhika.
Wulan masih menenggelamkan wajahnya tanpa menjawab apapun, "Maafkan Papa jika ini semua salah, tetapi kamu jangan menyakiti Papa dengan kamu mengurung diri seperti ini," tangan Andhika terulur mengusap lembut rambut panjang Wulan.
Masih tak ada jawaban dari Wulan, kini mulutnya kelu tidak dapat berkata apapun. Kepalanya yang sakit semalaman tetap ia tahan. "Di luar ada Roman, kamu mau bicara dengannya?" Tanya Andhika kembali, namun Wulan tetap saja tidak menjawab. "Papa suruh kemari ya?"
Andhika beranjak dari samping Wulan lalu terdengar suara pintu tertutup. Anehnya air mata Wulan kembali menetes setelah mendengar pintu kamarnya tertutup. "Kenapa semua jadi seperti ini?" Tanya dalam hati.
"Lan?" Roman memanggil Wulan sebelum Roman akhirnya mengetuk pintu, "Apa aku boleh masuk?" Sambungnya bertanya.
Tak mendapat jawaban dari Wulan, Roman pun berniat untuk kembali turun menemui Andhika. Namun, ia mendengar pintu kamar terbuka. "Lan?" Panggil Roman sambil melihat Wulan yang membukakan pintu kamar sambil terus menundukkan wajahnya. Wulan berbalik ke dalam kamarnya dan duduk di tepi ranjang, diikuti Roman yang masih khawatir padanya.
Pernyataan Bapak Roman memanglah benar, ia juga khawatir jika Wulan dekat dengan lelaki selain Roman saat roman berada di Belanda. Hendra sekarang menjadi sahabat terbaiknya, jika Wulan membutuhkan bantuan Hendralah yang ada untuknya. Namun, cinta memang hanya bisa dirasakan sendiri. Wulan tidak tau bagaimana perasaan Hendra padanya. Meskipun Hendra kini sudah tau Wulan adalah kekasih Roman.
"Kamu sudah makan?" Tanya Roman sambil mengusap kepala Wulan. Wulan menggeleng. Roman meletakkan nampan yang ia bawa untuk Wulan di meja belajar.
"Lan, kita keluar yuk nanti sore?" Ajak Roman antusias, berharap Wulan akan merespon dengan baik. Namun, Wulan kembali menggeleng.
"Nggak mau? Padahal kita di undang Samuel ke pesta ulang tahun Ayahnya?" ujar Roman.
"Kamu aja yang kesana," jawab Wulan singkat.