Dramione- 20

1.6K 144 24
                                    

Ada beberapa hal yang kusukai dari pria pirang sedingin es ini.

Setelah menghabiskan waktu sarapan kami dengan hidangan yang membuatku melayang, aku tetap berada di pelukannya hingga pukul sebelas siang. Draco tertidur kembali, kali ini di bawah selimut bersamaku.

Aku tidak ingin beranjak dari dekapannya. Tidak saat aku merasa menjadi wanita yang sangat bahagia. Sarapan yang dikatakan Draco mungkin telah dingin, tapi aku takkan membiarkan kehangatan ini membeku kembali seperti salju di luar.

Hey, apa itu? Burung hantu terbang mengelilingi rumah rahasia ini.

Kutengadahkan wajah agar mataku mampu menjangkau wajah tampannya. Ia begitu terlihat tenang dan damai jika pulas, meski ketika ia bangun lebih membuatku senang.

"Draco," panggilku pelan.
"Hmmm?" erangnya masih enggan membuka mata. Lengannya yang bebas melingkari pinggang polosku.
"Aku melihat burung hantu berputar-putar di sekitar sini."
"Biar saja, Hermione," balasnya serak.
"Pada kakinya terikat perkamen, mungkin dari Hogwarts atau hal penting lain untukmu atau untukku."
Draco mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk meregangkan ototnya. Matanya beralih pada jendela yang tertutup.

"Kau benar, tapi kita tidak bisa menerima surat itu di sini. Rumah ini akan ketahuan."

"Ya, benar. Apa kita kembali saja ke Hogwarts?" tanyaku. Namun Draco menatapku dalam-dalam, ia mencoba mencari kekecewaan dari manik cokelat hazelku.

"Kau tak apa?" tanyanya memastikan.

"Tidak masalah. Ayo kita bersiap kembali." aku sudah akan bangun tapi gerakan Draco lebih cepat menarik lenganku hingga aku terduduk kembali.

"Aku janji kita akan kembali ke sini dan berlibur lebih lama." kutarik bibirku membentuk lengkungan bahagia dan mengangguk. Aku selalu percaya padamu.

***

Draco terus memegang erat tanganku selama perjalanan dalam portkey. Hingga kami tiba di gerbang utama Hogwarts, ia baru melepaskan genggamannya untuk membersihkan salju yang menempel di mantelnya.

"Istirahatlah di kamar. Nanti aku akan mengunjungimu," bisiknya membuat pipiku yang sudah merah karena dingin, menjadi lebih merona karena tersipu.

Sialan sekali pria itu. Ia melangkah pergi ke kamarnya dengan tergesa pula. Tanpa ciuman? Oh, kau mulai gila, Hermione.

Aku memutuskan mengenang apa yang terjadi pagi. Rasanya seperti mimpi dan aku tidak pernah ingin bangun. Kupejamkan mataku, merasakan kembali sentuhan dan kecupan manusia dingin itu hingga segalanya menjadi bunga di mimpiku.

Aku terbangun ketika seseorang mengetuk pintu ruanganku. Sekolah masih sepi, karena tahun ajaran baru akan dimulai dua hari lagi. Lantas siapa yang datang menemuiku di malam hari begini? Mungkinkah Draco? Entah mengapa saat otakku bekerja, Draco yang muncul.

Kakiku melangkah cepat ke arah pintu dan membukanya. Namun raut senyumku perlahan memuram. Oliver Wood datang.

"Hai, Hermione," sapanya.
"Kau datang awal?" aku yang lupa tak mengikat gaun tidurku buru2 mengikat rapat agar Oliver tidak melihatnya.

"Yah, Potter memberiku tumpangan. Ruanganmu bagus, ya." Oliver, si tampan pada jamannya dulu, meskipun kini lebih terlihat tampan, masuk melewati punggungku.

"Mc.Gonagall masih di luar. Ada sedikit urusan." aku memberitahu. Oliver tetap dengan sikap santunnya duduk dan memandangku lama.

"Aku tahu, aku akan tidur satu kamar dengan Neville atau Draco Malfoy jika terpaksa."

"Neville saja."
"Maunya, sih. Tapi kudengar dia pulang pagi tadi. Jadi aku harus menumpang tidur di kamar Malfoy."
Aku tak menjawab. Kemudian aku melihat Oliver mendekat pada tempatku berdiri.

"Mione, kau belum memaafkanku?"

"Memangnya apa salahmu?" sungguh aku tidak suka saat seperti ini.mengungkit kenangan yang tidak penting.

"Aku minta maaf. Aku pergi bukan karena aku menghindarimu, tapi aku butuh waktu untuk memantapkan perasaanku."

"Itu sudah lama sekali, Oliver. Tidak perlu kau bahas lagi. Lagipula ku sudah melupakannya."

"Melupakannya? Semudah itu?"

"Ya. Bagiku kau adalah orang yang kucintai dan kemudian pergi tanpa kabar, tanpa pesan ataupun kenang-kenangan." kutantang ia lewat pandangan mataku yang tajam. Ada penyesalan yang tersirat dari matanya ketika menangkap mataku.

"Bagaimana jika aku masih mencintaimu?"

"Apa? Tidak ...."
Kurasakan lembutnya bibir Oliver kembali di dalam mulutku yang menolak. Ia menahan kedua sisi tubuhku hingga aku meronta pun rasanya takkan sanggup.

Oliver terus mentransfer kerinduannya lewat cecapan-cecapan hasrat yang tidak kubalas. Meski begitu ia tetap bersikukuh menarikan lidahnya di dalam. Mataku terpejam. Ini tidak adil. Aku tetap meronta meski tak bisa.

***
"Shit!" Draco menerima kartu natal dari ibunya. Ya, ia tahu harusnya bahagia saat ibunya mengirim perhatian padanya. Ia tahu di sana sang ibu juga berjuang untuk kebebasan ayahnya.

Tapi ada satu bagian yang Draco ingin sekali mengakhiri sandiwara ini. Ia mencintai Hermione dan bukan Astoria. Lalu bagaimana ia bisa menyetujui permintaan ibunya untuk segera menikahi Astoria agar akses masuk ke azkaban semakin terbuka?

Bagaimana ia harus mengatakannya pada Hermione setelah kejadian tadi pagi? Pikirannya yang kalut memaksa langkah kakinya untuk menemui Astoria di mansionnya, namun sebelum itu ia harus menemui Hermione. Ia butuh oksigen dari gadis itu, ingin sekali menatap mata tajam dan memeluknya sebelum ia pergi.

Draco melangkah cepat menuju kamar Hermione. Melihat dengan tatapan aneh, Draco melihat pintu kamar itu sedikit terbuka. Bagus, protean charm nya sudah dimusnahkan, pikir Draco.

Namun, apa yang sedang dilakukan Hermione dengan seorang lelaki itu? Mereka bercumbu, saling menikmati sesapan hingga tak mengetahui kedatangannya. Mencelos rasa hati Draco saat melihat Hermione menutup matanya erat-erat.

Ingin sekali melempar lelaki yang berani menyentuh gadisnya itu saat ini. Tapi begitu tongkatnya keluar, ia memikirkan kembali surat dari ibunya. Draco mengurungkannya, lalu berbalik pergi dengan hati yang dingin.

***

"Cukup, Oliver." Hermione mendorong keras tubuh Oliver.

"Aku masih mencintaimu, kembalilah  menjadi pemilik hatiku, Mione."

"Tidak, kita bisa menjadi rekan guru jika kau tak keberatan." Oliver tampak pasrah dengan jawaban Hermione yang sudah memerah wajahnya.

"Keluarlah, Oliver."
"Maafkan aku."
"Keluar!" hardiknya marah.

Oliver yang muram, melangkah pergi meninggalkan Hermione yang sedang marah padanya.

****

Komen dongggg... Biasanya komen itu bisa ngasih ide buat nulis part selanjutnya loh.

Kutunggu 😘

DRAMIONE-Hogwarts In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang