Dramione-16

1.7K 151 12
                                    

#cekmulmed

"Reparo!" Astoria menjentikkan tongkatnya begitu tahu Draco berApparate di halaman rumahnya. Ia ingin terlihat seolah tak tahu hubungan antara Draco dan Hermione. Astoria merapikan penampilannya yang sudah kacau dengan sekali jentikan tongkat sihir dan menunggu dengan tenang di ruang tamu. Benar, seolah tak ada apa-apa.

Astoria mendengar tapak sepatu Draco melintasi lantai marmer rumahnya, menuju ruang utama. Seolah ingin meronta, Astoria menahan emosinya. Begitu melihat Draco tiba, bibirnya tersenyum. Senyum palsu di balik rasa sakit hati dan cemburunya yang terbakar.

"Selamat datang, Mr. Malfoy. "
Sniggly, peri rumah jelek keluarga Greengrass menyambutnya dengan wajah kusut.

Tak menghiraukan, Draco masuk dengan angkuh ke ruang utama. Terasa berbeda yang ia rasakan, tidak seperti sebelumnya. Langkah dan kedatangannya kali ini adalah paksaan yang harus ia jalani. Apapun yang ia lakukan hanyalah untuk menyelamatkn ayahnya di Azkaban, penjara sihir. Hanya keluarga Greengrass yang bisa mengeluarkan ayahnya dari sana.

"Kau menunggu lama?" tanya Draco basa-basi, seolah ingin menghindari kesalahannya.

"Kau berjanji tiba sebelum petang, sedangkan ini hampir larut malam, sayang," jawab Astoria sambil menuang anggur Yunani yang mewah.

"Maaf, aku terlalu asyik berada di The Burrows."
Tanpa Draco tahu, Astoria bergidik. Rumah reyot yang penuh jembalang dan klan Merah Weasley, apa menariknya?

"Mereka menerimamu sepertinya."

"Begitulah. Meski ada beberapa yang tidak suka." Draco mengangkat gelasnya untuk bersulang. Ia ingat sikap Ron yang masih juga tidak suka dengan kehadirannya di kediaman Weasley. Draco tak tahu mengapa ia bersikap tolol seperti itu. Mungkin ia benar-benar mendendam atau benci karena ia datang bersama Hermione.

Astoria tidak ingin lagi bertanya. Mata sinisnya terus mengawasi pria itu yang menghabiskan beberapa gelas anggur.

"Kau menginap?"

"Tidak. Aku akan ke Mannor dan berangkat menggunakan Hogwarts Express besok karena area Apparate sudah ditutup malam ini."

"McGonagall tidak memberimu libur?"

Draco meletakkan gelas ke delapannya lalu memandang kosong pada Astoria. Ia tidak ingin berbincang-bincang terlalu lama malm ini. Ia hanya sangat merindukan kembali ke kastil.

"Kau ingin keluar? Kita bisa jalan-jalan," tawar Draco mengubah topik. Ia tak ingin Astoria tahu bahwa Hermione yang membuatnya ingin tinggal di kastil.

"Tidak. Tapi jika kau mau menginap, aku sudah menyiapkan tempat yang nyaman untuk kita di atap."

Ada setitik rasa bersalah pada diri Draco karena bersikap jahat pada Astoria. Katakan saja ia memang memperalatnya untuk kebebasan ayahnya dan tidak sekalipun mencintai Astoria. Tidak ada cara lain untuk menghindari wanita ini selain mengiyakan apa yang ia katakan.

"Ayo kita ke sana."

Senyum menang Astoria mengembang. Malam ini ia akan melewatkannya bersama Draco. Menghalau udara dingin dengan saling mendekap dan bercumbu.

***

Tempat nyaman yang dikatakan Astoria berada di atap tertinggi rumahnya. Memang terlihat nyaman tanpa meninggalkan kesan mewah yang selalu ia tonjolkan. Namun tetap saja, meski raganya berada di sini tapi pikirannya hanya berpusat pada Hermione.

Astoria mengiringnya duduk di sebuah sofa malas berbahan beludru putih. Kontras dengan gaun hitam bertabur berliannya dan mantel berwarna putih gading. Ia seperti bangau anggun dan menawan yang siap meliuk di depan kekasihnya. Tak peduli angin dan salju yang menderu, wanita itu bergelayut manja di bahu Draco.

"Meteologinx Recanto!"seru Astoria dengan menjentikkan tongkatnya.

Salju yang turun seketika berhenti hanya di sekitar mereka. Begitupun dengan udara dingin yang langsung berubah menjadi hangat. Draco melihat Astoria membuka mantel hangatnya dengan gerakan yang diakuinya sangat menggoda. Entah apa yang dipikirkn wanita itu, dia keturunan bangsawan namun terlalu menjijikkan untuk seorang wanita. Draco jengah, ia ingin secepatnya pergi dari sini.

"Kenapa kau membuka mantelmu?"
Draco memalingkan wajahnya begitu tahu gaun hitam yang dipakai Astoria terlihat sangat terbuka.

"Aku merindukanmu," desahnya manja.

"Dari mana kau dapat gaun yang seperti itu?"

"Hey, ini kado dari ibumu."

Draco meneleng, satu sudut bibirnya terangkat. Jika ia bisa protes pada ibunya sekarang juga, maka Draco akan melakukan itu.

"Aku merasa kau berubah akhir-akhir ini. Ada apa? Kau bisa bicara sekarang." Astoria memang sengaja menyiapkan tempat ini agar hubungan mereka membaik. Tidak seperti saat ia berada di Hogwarts.

"Tidak ada. Aku hanya memikirkan pertunangan kita."

"Memangnya ada apa? Kau mencintaiku, aku mencintaimu. Itu belum cukup?"

"Belum. Kita takkan pernah menikah sebelum aku bisa mengeluarkan ayahku dari Azkaban."

"Apa?" Astoria berjengit. Di jauhkannya kepala yang bersandar nyaman di bahu Draco.

"Drake, tak ada lagi yang bisa keluar dari Azkaban kecuali kebahagiaan mereka telah terserap habis oleh Dementor. Begitu juga ayahmu."

Draco mengatupkan mulutnya lalu berbicara dengan nada sedikit keras, "Jika kau mau pernikahan kita segera dilaksanakan, maka bantu aku untuk mengeluarkan ayahku."

Astoria masihtidak mengerti apa yang pria ini katakan. Azkaban bukan tempat keluar masuk sembarangan. Pasca perang sihir terakhir, Azkaban benar-benar terisolir dari dunia luar.

"Apa yang harus kulakukan?"

"Ayahmu memegang peranan penting dalam kementrian, gunakan dia untuk mencabut berkas ayahku."

"Drake, itu tidak mungkin."

"Hanya itu syaratku. Kuharap kau mau membantuku."

Astoria membuang nafasnya dengan kesal. Bagaimana ia akan membujuk ayahnya untuk memusnahkan berkas Lucius Malfoy sedangkan calon ayah mertuanya adalah pengabdi setia Voldemort.

"Baiklah, akan kucoba," putus Astoria.

Draco tersenyum simpul dan membiarkan Astoria menciumi wajahnya. Biarlah ini menjadi bayaran atas bantuannya karena Draco tak tahu apalagi yang harus diberikannya.

Ciuman Astoria turun melahap bibirnya. Draco membalasnya sesekali. Tak ada gairah di sana. Permainan ini hanya angin lalu yang dibiarkannya pergi. Malam ini Draco hanya melayani, bukan menikmati.

Kemudian ia teringat Hermione. Rasa bersalah karena kejadian yang sama persis seperti malam lalu, rasanya Draco ingin kembali untuk memeluk wanita itu. Menciumnya sekuat tenaga dan berkata bahwa ia sangat mencintai Hermione. Lagi-lagi bayangan ayahnya yang menderita di dalam Azkaban muncul dan teringat tujuannya bertunangan dengan Astoria.

Draco memejamkan matanya saat reproduksi mereka menyatu. Bukan untuk menikmati setiap gencatan yang dilakukan Astoria di atas tubuhnya, melainkan merutuki nasibnya.

Hingga pada saat Astoria menjerit dan organnya menjepit, Draco membalik tubuhnya. Ia butuh pelepasan malam ini. Tidak peduli dia Astoria Greengrass, karena yang ada dalam bayangannya adalah Hermione Granger.

***

Sementara di dalam kastil, Hermione terbangun karena mimpi aneh yang dialaminya beberapa hari ini.
Dia tk pernah sekalipun melakukan hubungan seksual, tapi mimpi-mimpi kotor yang berulang kali terjadi sangat mengganggu psikisnya. Draco berada di balik semua ini. Dia yang harus disalahkan. Semua sentuhan itu, ciuman dan cumbuan itu benar-benar membuatnya tidak waras.

Hermione menyahut ramuan tidur tanpa mimpi di atas nakasnya. Ia menghabiskan dengan sekali teguk.

"Bagaimana mungkin sudah habis?" Hermione bermonolog. Selanjutnya ia ingat bahwa satu komposisi dibuat hanya menghasilkan 3 dosis. Hermione telah memakai semuanya karena tak ingin mimpi-mimpi jorok dengan Draco datang lagi.

Ia harus tidur cepat mengingat besok pagi ia harus berangkat menepati janji dengan seseorang.

***

DRAMIONE-Hogwarts In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang