Dramione-18

1.7K 165 15
                                    

"Hermione, apa kau punya pikiran untuk menikah?"

Pertanyaan konyol macam apa yang dilontarkan Draco barusan? Hermione tertawa. Profesor Ramuan cantik itu mengeratkan mantel karena di luar salju masih turun dan udara terasa membekukan.

Mereka sampai di sebuah perbukitan beberapa menit lalu dengan menggunakan portkey. Draco menyihir pot bunganya menjadi sebuah portkey yang membawa mereka sampai di luar negeri. Ya, luar negeri. Hermione pernah berpergian dengan portkey beberapa tahun yang lalu saat hadir dalam Piala Dunia Quidditch bersama keluarga Weasley dan Harry. Tapi bersama Draco rasanya justru lebih aman.

"Jadi katakan dulu, kita berada di mana?"

"Swiss. Kau akan tergila-gila dengan negara ini karena cokelatnya dan aku yang akan bertanggung jawab kepada orang tuamu jika ada apa-apa nanti."

Hermione menghentikan langkahnya dan menatap Draco untuk meminta penjelasan dari ucapannya barusan.

"Kau tidak merencanakan hal bodoh atau gila kan? Tidak, Drake. Aku tahu kita sama-sama dewasa, tapi aku tidak mau hamil sebelum menikah," sungut Hermione ketakutan.

Mendengarnya membuat Draco terbahak-bahak. Wanita cantik ini bahkan terlalu lugu untuk memahami perkataan pria malang sepertinya. Kelihatannya saja dia jenius.

"Hey, memangnya aku pria apa yang memaksa seorang wanita yang bukan siapa-siapaku untuk mengandung benihku."

Tertegun, Hermione mendengar dengan sangat jelas bahwa pria jelek tapi seksi ini bicara bahwa Hermione bukan siapa-siapa untuknya. Bukan siapa-siapa.

"Maksudku adalah, jika saja kau keranjingan cokelat dan kau pulang dalam keadaan gigi yang buruk maka aku akan..." Draco menghentikan kelakarnya saat melihat Hermione menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Ada apa Hermione?"

"Kau tadi bilang apa? Kau takkan memaksa seorang wanita yang bukan siapa-siapamu? Apa yang kau maksud itu aku? Apa aku bukan... bukan siapa-siapa untukmu?"

Draco mendekat, sangat dekat hingga asap napas mereka menyatu, "Kau adalah rekan kerjaku, tentu saja. Mana mau kau menjadi kekasihku."

Hermione masih diam di tempat. Ada rasa yang ingin disemburkan saat ini olehnya. Tapi sisi hatinya yang lain menolak. Rekan kerja, ya rekan kerja.

"Apa rumah yang kau maksud masih jauh?" Hermione berkilah.

"Tidak. Kita hampir sampai. Kau lelah?"

"Tidak selelah aku menunggu sesuatu yang tidak pasti. Ayo jalan." Hermione mengambil langkah lebih dulu sebelum Draco menyadari gurat kecewa yang ia pahat pada wajahnya.

***

Hermione masih tidak ingin membuka suara begitu ia dan Draco tiba di sebuah rumah atas bukit milik keluarga Malfoy. Bukan rumah kecil tentunya, melainkan sebuah rumah mewah yang elegan dengan aksen Irlandia. Tak ada Muggle yang tahu bahwa di sini berdiri sebuah rumah mewah karena Lucius Malfoy memberi mantera protego secara keseluruhan.

Draco hanya mengekori langkah Hermione yang selalu menggerutu. Mungkin masih sebal dengan perkataannya tadi. Wanita cantik itu membuka pintu demi pintu untuk memilih kamar yang disukainya dan ini adalah kamar kedua belas. Jangan heran, konon katanya rumah ini dibangun secara sihir oleh Lucius Malfoy untuk digunakan sebagai tempat rahasia para pelahap maut saat perang.

"Jangan di situ! Kamar itu milik Bellatrix. Aku tidak mau kau trauma," cegah Draco. Ia ingat betul beberapa tahun yang lalu saat Bellatrix Lestrange menyiksa Hermione di Malfoy Mannor. Saat itu Draco tak berdaya, ingin sekali tangannya mengulurkan tongkat untuk memutus sihir yang dilakukan Bellatrix pada Hermione. Tapi ia hanya bisa diam dan takut. Draco bersumpah bahwa saat itu adalah hal paling ia sesalkan.

DRAMIONE-Hogwarts In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang