"Bagaimana sifatnya di keluargamu?""Penuh dengan penghianatan."
"Bisa kita bekerja sama?"
Gavin menautkan alisnya, "Untuk apa?"
"Untuk..."
★★★
Dave menepati janjinya dengan mengajak adiknya jalan-jalan.
"Jadi akan kemana kita?" tanya Dave saat sudah duduk dikursi kemudi.
"Makan!" seru Anya senang. Dave mengacak puncak kepala gadis itu gemas.
Dave mulai menghidupkan mobil dan melaju. Meninggalkan rumah itu. Tadinya Anya ingin sekali mengajak Dyan, namun lagi-lagi hanya penolakan yang ia dapat. Sebenarnya dia masih bingung, apa salahnya sampai sikap abangnya itu berubah menjadi kasar, ketus, dingin, dan pendiam. Abangnya juga jarang di rumah, entah kemana ia pergi.
Pergi pagi memakai seragam sekolah dan pulang malam sudah acak-acakan. Sungguh sebenarnya dia sangat khawatir dengan keadaan Dyan. Dyan sekarang terlihat lebih... Urakan?
Sebenarnya Anya setiap hari menunggu Dyan pulang ke rumah saat sore hari sampai malam, sampai abangnya masuk ke dalam kamarnya. Baru dia lega. Anya melakukan itu tidak ada yang tahu, dia pasti menunggu didepan jendela kamarnya. Dan saat terdengar suara pintu rumah dibuka dia akan mengintip abangnya masuk kedalam kamar.
Anya terkejut ketika tangan besar kakaknya mengelus puncak kepalanya dengan sayang.
"Hei." suara lembut namun berat Dave itu menyapa pendengarannya.
"Jangan suka melamun, tidak baik loh."
Anya menggeleng sehingga rambutnya yang tidak dikuncir agak berantakan.
"Kau tidak bisa berbohong kepadaku sayang." Tangan Dave terulur mencubit pipi adiknya.
"Sudah, ayo keluar."
Dave beranjak keluar dan mengambil kursi roda adiknya. Mereka memilih kursi dekat pintu masuk. Anya tetap duduk dikursi rodanya sedangkan Dave memesan makanan untuk mereka.
Anya merenung, ia sangat bosan. Kalau seperti ini hawanya ingin melamun terus. Dia menumpukan dagunya pada tangan kanan. Pikirannya bahkan melayang kemana-mana.
Otaknya terus bekerja, kemana perginya teman-temannya? Kemana perginya Rana? Yang ia tahu hanya kondisi teman-teman abangnya saat menjenguknya, bahkan itu saat ia masih dirawat dirumah sakit.
Ia sangat merindukan teman-temannya, saat gadis itu sadar saja satupun batang hidung temannya tak ada yang terlihat. Rana pun entah dimana. Apakah mereka sama seperti abangnya? Kesal atau benci mungkin dengannya? Tetapi sebenarnya apa alasan Dyan membencinya? Apakah menyelamatkan teman sendiri itu salah? Apa abangnya tidak mau menerima dirinya karena cacat, sehingga abangnya malu? Bisa jadi. Hanya itu yang dipikirkan Anya.
Anya meringis pelan saat merasa hidungnya ditarik, "Melamun lagi!"
"Sakit Big Bear." kesal Anya.
"Makanya jangan suka melamun!"
"Iya iya."
"Sudah ini makan."
Gadis itu mengangguk dan dengan segera memakan makanannya dengan lahap. Pipinya menggembung lucu karena terlalu lahap menyantap makanan itu. Dave yang melihat iu terkekeh pelan.
"Eh, Gi lo mau gak sama yang itu."
"Ogah, cantik-cantik cacat. Mendingan gue jomblo."
Anya tercenung, apa ucapan itu ditujukan untuknya? Pasti saja! Memang siapa lagi orang lain yang memakai kursi roda selainnya disini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Siblings✔
Ficção AdolescenteDulu kita saling melindungi Dulu kita saling menyayangi Dulu kita saling menjaga Namun sayang hanya kata 'dulu' yang mendominasi. Sekarang berbeda, tak ada lagi kata 'kita', sekarang hanya ada kamu, kamu ya kamu, dan aku ya aku. ⚠Cerita ini asli...