💫35💫

5.4K 245 19
                                    

Pria jangkung itu mendesah frustrasi. Mengabaikan laki-laki lain yang ada disebelahnya yang melihatnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Belum juga mendapat kabar dari orang suruhannya. Bingung ingin mencari adiknya kemana, karena orang suruhan bibinya sangat licik. Oh. Mungkin jangan sebut wanita itu bibinya lagi. Karena kemarahan saat mengingat wanita itu tak bisa dibendung Dave.

Keadaan laki-laki itu sangat kacau, tubuh yang bertambah kurus dan juga kantung mata yang menghitam karena jarang bisa tertidur.

"Sorry."

Dave menoleh, memejamkan matanya sejenak.

"Terlambat."

Dyan menyandar pada sofa. Mengusap wajahnya kesal. Dia merasa sangat bodoh sekarang. Dimana otaknya? Rasa kesal karena kebodohannya dan rasa menyesal menghantuinya. Dia juga khawatir dengan adiknya sekarang.

Tiba-tiba ponsel milik Dave berbunyi. Tangannya menggeser tombol hijau untuk mengangkat telefon.

"Halo."

"..."

"Dimana?"

"..."

"Kirim beberapa anak buah untuk mengikutiku, aku akan segera kesana."

Telepon dimatikan. Wajahnya yang awalnya muram berubah sumringah. Ini berita baik. Segera saja ia menyaut kunci mobilnya yang berada di nakas. Berjalan tergesa ke garasi.

"Mau kemana?!" teriak Dyan.

"Mencari adik perempuan kesayanganku!" jawab Dave dari depan rumah.

Dyan segera berlari keluar dan dengan sembarangan masuk ke mobil kakak laki-lakinya. Setelah mengeluarkan mobilnya, Dave melajukan kendaraan roda empat itu ke suatu tempat.

★★★

Wajahnya pucat pasi, tenaganya habis, tak ada semangat dalam hidupnya. Dia akan menyerah saja. Sakit yang ada dihati maupun fisiknya, ia sudah tak tahan. Memar tak absen dari anggota tubuhnya, kurus atau lebih tepat hanya tinggal tulang pada tubuhnya. Tidak diberi makan ataupun minum.

Minum ia masih bisa mengandalkan air hujan yang merembes masuk ke atap dan menetes dalam ruangan. Makan ia sudah tak peduli. Masih bisa hidup saja ia sangat bersyukur.

Dia berdoa semoga tak ada pukulan lagi hari ini seperti hari sebelumnya. Apa tak cukup tubuhnya menerima pukulan itu? Memakai sabuk ataupun tongkat sama saja sakitnya.

Namun, harapannya pupus saat melihat seseorang masuk dengan rotan ditangannya. Hari ini bukan ibunya yang akan memberi pukulan. Tumben sekali, pikirnya. Biasanya ibunya tak pernah absen untuk menyiksanya.

"Kumohon hari ini jangan..."

Suara gadis itu lirih, kepalanya menyandar tembok. Dia duduk dipojok ruangan.

Laki-laki itu mengeratkan tangannya yang menggenggam rotan. Tangannya siap melayangkan pukulan pada gadis ringkih itu.

"Ssshhh..." satu pukulan mendarat dilengan Anya membuat gadis itu meringis kesakitan.

Sampai pukulan-pukulan berikutnya Anya hanya bisa meringis kesakitan lalu menangis diam-diam. Hingga pukulan terakhir mengenai pelipisnya membuatnya benar-benar lemas.

Laki-laki suruhan ibunya tadi pergi begitu saja.

"Bagus." samar-samar Anya mendengar suara ibunya.

"Gadis itu sudah terlalu lemah nyonya."

Wanita itu menyeringai licik. Tangannya bersedekap. "Oh, nikmati saja tubuh jalang cilik itu."

Kedua orang suruhan yang ada disana tersenyum puas.

"Sana, aku akan pergi daripada mendengar suara menjijikkan kalian."

Wanita licik itu pergi, meninggalkan bangunan tua. Sedangkan dua orang suruhan tadi melancarkan aksinya. Diam-diam masuk ke ruangan itu.

Salah satu pria itu mulai menyentuh Anya. Gadis itu menepis kasar.

"Ayolah gadis kecil jangan bermain-main dengan kami." pria itu menyeringai licik.

Pria satunya membuka satu persatu kancing baju gadis itu, karena tidak sabar pria itu merobek baju yang dikenakan Anya. Anya memberontak lemah, tangisnya tak dapat dibendung lagi.

"Jangan..." lirihnya yang diabaikan dua pria itu.

Anya memeluk tubuhnya sendiri. Satu tangan pria itu menyentuh leher gadis depannya perlahan. Merangkak kebawah lalu ditepis lagi.

Rahang Anya dicengkeram, "Apa? Jangan memberontak atau kami akan melakukan lebih buruk dari ini."

Tangan besar dan kasar itu terangkat lagi, menyentuh bagian atas privasi gadis tersebut membuat gadis itu meremat lengannya sendiri, sungguh dia ketakutan namun tak bisa melakukan apa-apa. Bajunya sudah terlepas meninggalkan tanktop tipis yang dipakainya.

"Stophhh..."

BRAK!

Mata gadis itu terbelalak saat melihat salah satu pria tadi tubuhnya terhuyung dan membentur dinding, disusul pria satunya.

Samar-samar ia melihat tubuh tegap abangnya berdiri menjulang lalu berjongkok didepannya.

"Abang..."

Tangannya mencoba terulur untuk menyentuh kakaknya, namun tak sampai. Tubuhnya semakin lama seperti mati rasa. Laki-laki itu melepas kemeja flanel yang dipakainya dan membalutnya pada tubuh adiknya. Menyisakan kaos yang dipakainya. Mendekapnya, mencoba menghilangkan rasa takut yang ada.

Dyan menggendong tubuh adiknya yang semakin lama semakin melemah. Membawanya ke mobil yang ditunggu Dave. Dave yang melihat Dyan membawa tubuh adiknya dengan segera menghidupkan mesin mobil dan melakukannya saat kedua adiknya sudah memasuki mobil. Sedangkan para suruhan tadi sudah diurus oleh anak buah Dave.

"Stay awake." bisik Dyan berulang kali tepat ditelinga adiknya yang ia pangku menyamping.

"I always love you bro." senyuman tipis terbit dari bibir itu.

"Abang tahu. Abang tahu."

Tangan Anya mencoba menggapai wajah kakaknya. Dyan yang mengerti itu mengambil tangan Anya dan meletakkan dipipinya. Mengusap tangan adiknya lembut.

Gadis itu berusaha menegakkan badannya. Dengan susah payah m eraih wajah kakaknya dan mencium dengan sayang pipinya lalu tersenyum. Melepas ciuman itu, tubuh Anya meluruh lagi pada dekapan kakaknya. Perlahan matanya terpejam dan samar-samar mendengar suara kakaknya yang memintanya tetap terjaga.

Sesampainya di bangunan putih yang disebut rumah sakit itu. Para perawat dan dokter segera menangani Anya.

Entah apa yang selanjutnya akan terjadi pada gadis itu. Entah tetap bertahan atau pergi ikut bersama ayah kesayangannya. Tak akan ada yang tahu.


☆☆☆

Tbc

Setelah chapter ini berarti end yaaa...

Siblings✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang