Terkahir bertemu Athma

777 65 6
                                    

Athma memegangi lengannya yang mengeluarkan darah, wajahnya menyatakan betapa sakitnya luka tersebut. Tanpa alas kaki Ia berlari, mencoba untuk kabur dari kejamnya dunia.

Langkahnya berhenti di bukit samping sekolah yang memperlihatkan ke indahan malam.

"Aaaargh.." jeritnya sambil menangis.

"Aaaargh..." jeritnya lagi lebih kencang dari sebelumnya. Athma terduduk, kepalanya menunduk dengan air mata yang menetes.

Kehadiran Cantik tidak disadari oleh Athma, Cantik menaruh sebuah kantong kresek yang berisi p3k di bawah pohon besar tepat di belakang Athma. Namun suara bising dari kantong keresek itu membuat Athma menoleh ke arah Cantik.

"Ak-aku tadi enggak sengaja liat ka-" ujar Cantik gugup.

"Ngeliat apa?!" Tanya Athma dengan nada bentak, "kenapa? Lo kasian ngeliat gue?! Gue paling benci di kasianin! Pergi!" Cantik hanya diam menatap Athma. "Pergi!!" Usirnya lagi dengan nada lebih keras.

Cantik menatap lengan Athma yang berdarah, Lalu ia mengambil plastik putih yang berisi p3k, lalu menarik lengan Athma.

"Jangan sentuh gue!" Ujar Athma sambil menarik lengannya.

"Bisa diem gak?!" Bentak Cantik yang membuat Athma terdiam. "kamu liat tangan kamu ini! Apa kamu mau mati?!" Tanya Cantik yang di jawab dengan tatapan tajam Athma. "Kalau kamu udah tau enggak ada orang yang peduli dengan kamu, seharusnya kamu yang harus peduli dengan diri kamu sendiri. Apa kamu mau mati?" Tanya Cantik.

"Ya, kalau itu bisa membuat gue lebih baik." Jawab Athma yang langsung dapat senyum remeh dari Cantik.

"Mati? Bisa lebih baik? Kamu bodoh? Atau dungu?"

Cantik menghela nafas, ia menatap Athma penuh makna, "Ketika kesulitan datang  seperti hujan yang jatuh
dan membasahimu tanpa bisa menghindarinya, saat itulah kamu butuh payung. Dan, aku bisa menjadi payung mu.
Ingat kamu tidak sendirian, meskipun jika dunia selalu menyakitimu, bahkan ketika kamu merasa kesepian atau sedih, jangan menangis. Aku akan bersama mu, aku akan mendengarkanmu. Lihatlah ke belakang, aku akan berada di sini. Aku akan menghapus semua air matamu, bahkan semua kesepianmu." Ujar Cantik yang telah usai memperban luka-luka di lengan Athma.

"Apa lo ngomong kaya gitu karena kasian sama gue?" Tanya Athma.

"Untuk apa aku kasih sama cowok seperti kamu," Jawab Cantik sambil duduk menatap rumah-rumah penduduk dari atas bukit ini. "Hidup memang seperti ini, kalau kamu enggak kuat. Jangan hidup." Ujar Cantik.

"Dulu, saat gue kecil. Gue selalu di bully, mungkin karena pakaian gue yang kurang keurus. Semua orang ngatain gue orang gila," Cantik menatap fokus Athma. "Ibu gue pergi saat umur gue tujuh tahun dan meninggal dunia saat umur gue sepuluh tahun. Hidup gue ini seperti game, tapi gue enggak tahu peraturannya." Ucap Athma menatap Cantik yang duduk di sampingnya, "sejak saat itu, prinsip gue, kalau lo enggak mau di bully, lo enggak boleh lemah. Lawan, satu-satunya cara agar lo aman." Jelas Athma panjang lebar.

Cantik tersenyum "Athma, aku tahu kamu itu kuat." Ujar Cantik yang tak dapat jawaban dari Athma

"lihat tuh," ucap Cantik menunjuk bulan. "Kamu enggak boleh jadi bulan. Yang terlihat indah dari jauh namun buruk dari dekat, tapi jadilah angin, tidak terlihat namun menyejukan." Ucap Cantik.

"Pulang sana!" Usir Athma.

"Aku pulang bareng kamu."

"Pulang? Mau pulang kemana? Sejak awal gue enggak punya rumah." Ujar Athma.

"Rumah Bi Sukarni?"

"Udah, pulang sana!" Ujarnya lagi.

"Aku bareng kamu."

"Gue tidur sini," ucap Athma sambil merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. "Mau tidur bareng?" Tanya Athma yang langsung membuat Cantik bangun dari duduknya lalu pergi tanpa satu katapun.

Athma menghela nafasnya, menjadikan tangannya sebagai bantal. Lalu menatap bulan yang menerangi malamnya. "Lebih baik jadi bulan, yang bermanfaat. Dari pada angin yang tak terlihat."

***
Di depan ruangan yang bertulisan ICU Ghandi berjalan kesana kemari dengan wajah yang menampakkan kecemasan. Sudah lima jam Ghandi berdiri namun rasa lelah tak terasa.

"Ya allah, selamatkan anak ku.." ujar Ghandi dengan kedua telapak tangan ia usapkan ke wajahnya.

Pintu ICU terbuka, memperlihatkan seorang Dokter yang menghampiri Ghandi. "Apa bapak wali pasien?" Ghandi menatap Dokter tersebut dengan penuh harapan. "Iya, bagaimana dengan anak saya? Tidak ada apa-apakan?" Dokter tersebut melepas kacamata yang bersengger di hidungnya. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Pasien tidak bisa di selamatkan." Ghandi jatuh terduduk, matanya memerah namun tak ada air mata disana.

***
Aku menarik nafas ku, lalu membuangnya dengan kasar. Aku menatap langit-langit kamar ku.

Sempat ku berfikir bila dunia ini hanya kejam kepada ku, tapi kenyataannya. Ada orang yang lebih tersiksa dari pada aku.

Melihat Athma tadi membuat ku tersadar.

Dan ternyata, malam ini adalah malam terakhir aku melihatnya.

CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang