Prolog

1.2K 107 10
                                    

Yang namanya pelajaran Seni Budaya itu memang selalu menyebalkan bagi Mega Jingga---gadis yang saat ini tengah mencanting dengan bersunggut-sunggut.

"Elah, yang bener dikit napa?!" Mega hanya mendelik sanksi pada Rasti teman satu kelompoknya, yang baru saja mengomentari pekerjaannya.

Udah sih lo kerjain aja sendiri

Rasti hanya dapat melapangkan kesabarannya seluas samudera. Mega benar-benar menyebalkan. Semua orang tahu gadis itu paling anti dengan pelajaran Seni Budaya yang menurutnya hanya membuang waktu saja. Padahal pada kenyataannya Rasti tahu, bukan itu alasannya tapi karena Mega memang tak berbakat dalam pelajaran itu.

Awal ketidaksukaan Mega itu di mulai sejak kelas sepuluh pas awal masuk ketika mereka harus menggambar dua dimensi. Itu sih mudah. Itu awalnya yang terlintas di benak Mega saat mendengar kata dua dimensi. Tapi, kenyataan sebaliknya. Tahu-tahu pas di nilai dia hanya dapat nilai 66 karena arsirannya gak karuan.

Sebenarnya Mega menerima itu dengan lapangdada toh memang gambarnya amburadul. Yang bikin dia kesel itu, kenapa gambar yang gak kalah absurd dari punyanya malah dapat nilai 73?

"Udah ah, lo yang kerjain. Males gila." Ujar Mega, meletakan canting itu diatas koran di depannya. Rasti mendelik tajam, enak banget main perintah.

Rasti menarik tangan Mega yang mencoba berdiri, hingga gadis itu membalas pelototannya. "Apa sih Ras? Gue udah capek tauk. Lagian gurunya juga lagi kebawah jadi biarin aja." Ucap Mega ketus, menepis tangan Rasti yang mencengkram tangannya kuat. Lalu berlari keluar kelas.

Saat kakinya melangkah keluar pintu yang menyambutnya adalah pohon-pohon tinggi nan rimbun. Mega mengucek-ngucek kedua matanya. Berharap ini hanya kesalahan penglihatannya saja.

Dalam hati Mega tak henti menggerutu. Langkahnya kembali mundur selangkah, berharap dengan begitu dia akan kembali keruang kelasnya. Tapi dia masih berdiri di sana. Merasa linglung Mega hampir saja terperosok jika tidak mempunyai keseimbangan yang baik.

Matanya memedar mengamati sekeliling. Pohon-pohon tinggi dengan daun hijau tua. Dia berada di tengah hutan. Lalu matanya beralih kearah tubuhnya sendiri. Hah! Sejak kapan baju batik sekolahnya sudah berganti dengan kebaya dan selendang yang dijadikan kerudung dikepalanya, juga sepatunya hilang. Kakinya langsung berpijak pada tanah yang teksturnya agak kasar. Apa sekarang dia menjadi jelata? Apa ini karma karena dia sangat membenci guru dan pelajaran Seni Budayanya?

"TIDAKKKK!"

***


Mana suaranya yang minta cerita seri kerajaan?

Ini cerita kedua seri Reinkarnasi. Bismilah semoga bisa lancar ngetiknya.

Dayeuhluhur, 15 Oktober 2018

Biru

Lir Ilir (Dimensi 1 dan 2, Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang