3. Sepahit Kopi di Pagi Hari

17.1K 1.5K 83
                                    

3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

3. SEPAHIT KOPI DI PAGI HARI

Sinar mentari menyelinap dengan malu di antara celah tipis gorden putih dari jendela yang dibiarkan terbuka. Aroma embun dan rumput basah merembak masuk, terbawa angin pagi, membelai lembut wajah seorang perempuan yang berbaring miring di tempat tidur. Dia masih mengenakan mukenah putih, jari-jemarinya tak lelah menyentuh butiran tasbih menyebut nama Allah meskipun mulutnya tak bersua. Mata sayunya menatap keluar jendela, pada matahari yang datang tanpa dia sadari sedangkan sisa-sisa air mata yang dia tumpahkan tadi malam, membekas jelas di pipi merahnya.

"Saya harap kita nggak pernah bertemu lagi."

Kalimat itu menusuk hatinya. Dia menahan diri untuk tidak menangis lagi, membenamkan wajah di bantal berusaha menyadarkan diri untuk kembali kuat. Tapi tetap saja, hatinya begitu terasa sakit.

Tok tok tok.

Pintu kamarnya diketuk pelan.

"Aya, kamu sudah bangun? Ayo kita sarapan." Panggilan lembut Aminah menyadarkan Aya.

Aya ingin sekali tidak mengacuhkan panggilan Ibunya. Ingin sekali mengurung diri di kamar dan tak ingin bertemu dengan semua orang hari ini.

"Ay, Mamah sudah bikinkan telur orak-orik kesukaan kamu," tambah Aminah. "Ayah sama Bang Ilham juga sudah menunggu kamu di meja makan. Kita makan yuk," bujuknya.

Dan karena tidak mendapatkan jawaban dari Aya, Aminah mengetuk pintu lagi.

"Mamah tau kamu pengin sendirian tapi tolong jangan membuat Mamah sama Ayah khawatir. Bangunlah sekarang dan temui kami, Mamah tunggu," akhiri Aminah dan Aya mendengar suara langkah kakinya menjauh.

Aya menghela napas berat. Memejamkan mata sejenak, mengumpulkan semua sisa kekuatan yang dia punya kemudian bangun dari tempat tidur. Melepas mukenah dan melipat rapi ke dalam sajadah lalu meletakkan di atas almari.

Perempuan itu berjalan gontai ke westafel, membuka air keran dengan deras dan membasuh wajah. Berharap air dingin ini mampu menyadarkan dirinya dari kesedihan yang dirasakan. Aya menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya bengkak, wajahnya terlihat pucat di kulitnya yang putih. Menyedihkan! Itu kata yang tepat mewakili diri Aya sekarang.

Aya mendengkus, seperti ini rupanya patah hati. Dia tidak tahu akan sesakit ini. Tidak tahu penantian panjangnya akan berakhir secepat yang dia kira.

Pintu kamar diketuk lagi. Sedikit lebih keras dibandingkan ketukan pertama. Aya bisa menduga siapa yang berdiri di luar.

"Adik Muhammad Ilham Ramadhan tersayang?" Ilham memanggil dengan suara lembut. "Kita makan yuk, gue udah bikinin susu coklat kesukaan Aya."

Gaya bicara Ilham terdengar seperti sedang mengajak bicara anak kecil berumur 10 tahun.

Aya tidak menyahut, dia mengambil handuk, melap wajah dan berganti pakaian. Membiarkan Ilham memanggil-manggil namanya, membuat Ilham terdengar seperti tokoh Anna yang sedang membujuk Elsa untuk membuat boneka salju di film Frozen.

Cinta di Atas Awan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang