6. Ketika Takdir Berbicara

13.7K 1.2K 57
                                    

6

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

6. KETIKA TAKDIR BERBICARA

Puluhan murid berseragam putih-merah berceloteh riang, duduk bersila membentuk sebuah lingkaran di tanah lapang. Rerumputan menyentuh kaki mereka lembut dengan udara sejuk yang masih berbau embun. Sejauh mata memandang, sawah hijau mengelilingi dan bunga lonceng ungu juga tumbuh dengan lebat. Pemandangan yang mungkin hanya bisa ditemukan pada lukisan. Seakan Allah dengan sengaja meletakkan potongan indah surga-Nya di tempat itu.

Beberapa anak perempuan mengikik sembari menuliskan sesuatu di selembar kertas. Sesekali melempar lirikan pada satu lelaki yang balas menatap penasaran. Muhammad Affan duduk bersila di tengah lingkaran, tersenyum dan menopang dagu dengan sebelah tangan.

“Bapak menyuruh kalian menulis puisi bukannya melukis wajah Bapak!” tegur Affan kepada mereka.

Anak perempuan bertubuh gempal duduk tegap. “Ini namanya one plus one Pak. Saya membuat puisi dan juga melukis wajah Pak Affan.”

Perkataannya mendapat cemoohan dari anak laki-laki.

“Sok manis kamu Surti!”

“Jangan mau Pak, entar dia malah bikin jelek muka Bapak.”

“Ada-ada aja kamu Ti! Mending gambar muka kamu sendiri. Jadi tau kalau muka kamu jelek banget.”

Anak perempuan bertubuh gempal yang ternyata bernama Surti merengut. Dia melempar sepatu pada satu anak laki-laki yang dari tadi mengejeknya.

“Banyak omong kamu Suwarno! Terserah aku mau nulis puisi kek, atau gambar muka Pak Affan kek. Itu bukan urusan kamu,” sungut Surti.

Suwarno yang menjadi targetnya, balas melempar balik sepatu dan tepat mengenai kepala Surti. “Tapi kamu bikin suasana hati aku badmood. Nggak konsen nulis puisi dengar cekikikan terus,” sahutnya.

Suasana yang tadi mulanya tenang sekarang berubah gaduh. Surti dan Suwarno, dua anak yang sering bertengkar, dua murid yang paling sering ditegur oleh para guru di SDN Kampung Daun. Lima tahun Muhammad Affan mengabdi sebagai Guru Bahasa Indonesia, sepertinya sudah membuat Affan paham betul tingkah laku dan pola pikir anak-anak zaman sekarang.

Affan menghela napas melihat keributan yang dibuat oleh Surti dan Suwarno. Suara perdebatan mereka memecahkan keheningan pagi, menarik perhatian para petani yang sibuk menanam padi. Sekarang Affan mulai menyesali keputusannya mengajak murid kelas V untuk belajar di luar kelas. Terutama setelah melihat keributan yang terjadi.

“Surti, Warno! sudah hentikan.” Affan akhirnya bangkit berdiri dan menengahi. “Kalau kalian nggak berhenti bertengkar, Bapak bakal menghukum kalian. Ini masih jam pelajaran, bukan jam istirahat. Lagipula cewek sama cowok kok berantem sih?”

Surti dan Suwarno cemberut. Masih saling mencibir meskipun dalam diam.

“Kalau masih mau berantem. Bapak hukum kalian membajak sawah. Mumpung Pak Tarno butuh bantuan membajak sawah karena kerbaunya sakit!” ancam Affan.

Cinta di Atas Awan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang