42. Hukuman kah?

11.7K 1K 123
                                    

42

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

42. HUKUMANKAH?

Aya berlari dengan kaki telanjang, tidak memperdulikan bebatuan tajam menggores telapak kaki dan tidak memperdulikan lututnya berdarah karena terjatuh. Setiap kali dia terjatuh, Aya akan langsung bangkit berdiri kembali berlari. Tidak ada yang bisa mencegat, tidak ada yang bisa menghalangi. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah ingin bertemu lelaki itu.

Dan selagi menembus hujan, selagi kaki menginjak reremputan basah, mimpi buruk yang Aya alami beberapa waktu lalu menghantui lagi. Ketika kedua telapak tangannya berlumuran darah, ketika dia melihat Muhammad Affan yang berdiri di sampingnya kemudian menghilang terbawa angin.

Merah darah itu!

Aya masih bisa melihatnya, menodai baju putih Affan tanpa belas kasih. Tubuhnya gemetar tak terkendali ketika mengingatnya lagi. Aya berharap dan berdoa agar mimpi buruk itu tidak pernah menjadi nyata.

“Tidak! Jangan ya Allah.”

Aya menggelengkan kepala keras. Dia mencengkeram dada yang tiba-tiba sesak.

“Jangan ambil dia, aku mohon!”

Aya meminta dengan sangat. Rasa takut menguasai hatinya. Dia tidak mau memikirkan bagaimana Aya menjalani hidup jika orang itu tidak ada di dunia ini lagi? Bagaimana Aya bisa melewati hari yang berganti, jika Aya tidak bisa melihat wajahnya lagi? Sungguh, Aya tidak ingin membayangkannya. Aya tidak ingin memikirkannya.

“Ikhlaskan saya Aya...”

Suara Affan kemudian terngiang jelas di pendengarannya, ketika Affan meminta untuk mengikhlaskannya untuk pergi, ketika Affan meminta Aya untuk merelakannya tanpa terbebani dan merasa bersalah.

Apakah ini maksud perkataan Muhammad Affan kala itu?

Melepaskan dengan cara seperti ini?

Kejam!

“Bagaimana aku bisa ikhlas!” teriak Aya dan mendongakkan kepala ke langit yang mendung. “Bukan ini yang aku minta. Bukan ini yang aku maksud.” Suaranya terdengar lirih di antara rintik hujan yang turun.

“Aku tidak bisa mengikhlaskannya.” Aya menangis hebat. “Kalau ini yang Engkau maksud dengan mengambilnya dari hidupku, sungguh ya Allah aku tidak sanggup. Aku mohon jangan mencobaku. Aku mohon jangan mengujiku...”

Dan tiba-tiba memori lama yang tersimpan kembali menghantam pikiran Aya. Memori masa lalu, ketika ada seorang anak laki-laki sedang berlari di bawah hujan. Aya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan anak laki-laki itu; berlari dengan kaki telanjang, menangis, sedangkan tangan terjulur berusaha menggapai dan menahan seseorang yang dikasihi untuk tidak pergi.

Cinta di Atas Awan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang