15. Kamu Tak Pernah Tahu

10.3K 967 20
                                    

15

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

15. KAMU TAK PERNAH TAHU

"APA? CALON AFFAN?" teriak Abidin, Aminah dan Ilham secara bersamaan.

Mereka bertiga bertukar pandangan, enggan bertatapan dengan Aya yang sekarang terdiam. Perempuan itu tidak mengucapkan satu patah kata pun. Entah dia berpura-pura tidak mendengar atau sedang menguatkan diri. Ekspresi datar yang Aya tampilkan membuat keluarganya tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya.

Tergoncangkah?

Terlukakah?

Atau penuh amarah?

Aya seperti batu keras, sulit untuk dipecahkan. Namun dengan fakta kejam yang baru saja dihadapkan padanya. Membuat mereka bertanya, apakah batu keras itu pada akhirnya akan hancur lebur dan menjadi partikel-partikel debu yang tak berarti lagi.

Keheningan yang menghantam, membuat Melati menatap Abidin, Aminah, Ilham dan Aya dengan ekspresi bingung.

"Ada apa Paman Bidin? Kok pada diam?"

Mulut Abidin membuka lalu menutup lagi, dia melirik gelisah pada Aya yang menatap Sabria Zuhara dengan mata indahnya.

"Itu! Apa yah, gimana maksudnya tadi?" Abidin mencoba menyakinkan diri dengan lontaran pernyataan Melati. "Sabria siapanya Affan?"

Namun tiba-tiba tawa Sabria pecah, dia menepuk lengan Melati serta menggelengkan kepala.

"Omongan Ati jangan dipercaya Om! Ati cuma melebih-lebihkan. Saya cuma temanan sama Kak Affan. Hubungan kami cuma sebatas itu." Sabria mengelak walaupun senja sudah menangkap basah sebuah kejujuran dari kedua pipi Sabria yang merona merah. Sabria menyukai Affan dan itu adalah sebuah kebenaran yang semesta pun mengetahuinya.

Melati mendengkus tidak percaya. "Teman atau demen? Semua orang juga tau lo suka sama kakak gue! Mata lo waktu liat Kak Affan, berbinar-binar gimana gitu," tambahnya menggoda Sabria.

"Lo jangan mengada-ada deh Ti! Jangan bikin gue malu," sungut Sabria menyenggol lengan Melati.

"Syukurlah kalo cuma sebatas teman," celetuk Ilham yang pertama kali menyadarkan diri. Dia mengelus dada sedangkan kakinya lemas dan membuatnya goyah untuk berpijak. Dia berpegangan di pundak Abidin.

"Syukurlah kenapa Kak Ilham?" tanya Melati bingung melihat reaksi keluarga Abidin terutama menangkap suara lega Ilham.

Ilham kelabakan, dia menunjuk ke langit malam. "Syukurlah harinya nggak hujan maksud gue, bakal berabe kan kalo kita tarawih sambil hujan-hujanan. Gue mau ganti baju dulu yah, mau pergi ke masjid." Dia langsung melarikan diri, melangkahkan kaki dengan cepat menuju kamar, tidak menoleh pada Aya ataupun pada kedua orangtuanya.

Abidin menarik tangan Aminah. "Kita juga mau siap-siap! Yuk Mah," ajaknya menarik tangan Aminah dan menghilang di balik bilik bambu. Sama seperti Ilham mereka juga tidak berani bertatapan dengan Aya.

Cinta di Atas Awan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang