4. Kebenaran Dalam Diam

17K 1.3K 60
                                    

4

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

4. KEBENARAN DALAM DIAM

Mobil hitam berhenti tepat di parkiran penerbitan buku yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Penerbit Buku ‘Dua Cahaya’. Papan namanya terpampang di depan gerbang yang terbuka. Tidak ada yang spesial dari dari penerbitan ini, hanya rumah berlantai dua bercat biru terang sedang bunga matahari tumbuh lebat di pinggiran tepi pagar.

Seorang satpam bergegas menghampiri ketika pintu mobil terbuka. Seorang satpam bertubuh gempal tersenyum ramah—Pak Eko, dia adalah pegawai pertama yang diterima di Penerbitan Buku Dua Cahaya.

“Assalamualaikum Den Ilham,” sapa Eko memamerkan deretan gigi putih bersih, meskipun gigi tengahnya sudah menghilang dimakan usia.

Ilham keluar dari mobil, balas tersenyum. “Walaikumsalam Pak Eko! Ceria amat hari ini? Habis sarapan pake jengkol yah,” balasnya sembari bercanda.

“Hahaha, bisa aja! kok bisa Den Ilham tau?” Pak Eko nyengir dan memperhatikan Ilham yang sibuk sendiri.

“Aroma yang Anda tebarkan begitu sembrak mewangi di pagi hari,” sahut Ilham.

Dia kemudian membuka pintu belakang mobil, mengeluarkan banyak buku yang tebalnya Nauzubillah, membuat Ilham selalu beristighfar disetiap kali menurunkannya ke tanah. Menyerah dengan ototnya sebiji telur, dia melempar pandangan memelas ke Eko. “Tolongin dong.”

Eko tertawa kecil dan bergegas menghampiri membantu Ilham.

“Ya Allah, kenapa nggak bilang dari tadi, sini saya bantuin. Entar Den Ilham tangannya keseleo.”

Eko bertubuh pendek tapi pernah menjadi preman pasar dengan mudahnya mengeluarkan buku-buku itu dari mobil.

“Seharusnya Pak Eko biarin aja Bang Ilham yang mengangkatnya,” ucap Aya. Perempuan itu keluar dari mobil juga. Dengan berbalut jilbab merah muda yang melindungi kepala, Ainaya terlihat cantik meskipun wajahnya pucat ketika sinar matahari siang menerpa. “Dia perlu olahraga Pak! Soalnya Bang Ilham jadi cowok lemah banget,” katainnya kejam.

Mulut Ilham berkedut. Dia ingin membalas perkataan Aya. Namun mata besar Aya yang mendelik terlihat menakutkan, membuat Ilham mengurungkan niat. Apalagi hari ini suasana hati Aya tidak baik. Membalas perkataan Aya sama saja dengan mencari mati.

“Eh, Neng Aya ada juga toh. Assalamualaikum Neng!” sapa Eko.

Satpam itu baru menyadari keberadaan Aya yang sedari awal memang berdiam lama di dalam mobil. Mungkin sengaja Aya lakukan agar Ilham mengangkat keluar buku-buku yang mereka bawa.

“Nggak papa Neng. Mengangkat ini doang mah kecil. Kan dulu saya pernah jadi kuli pangkul di pasar. Oh ya, Ini semua buku mau ditaruh di mana?” tanya Eko lagi.

“Walaikumsalam, taruh di dalam aja Pak. Di ruangan Pirman. Soalnya itu buku-buku yang nggak laku dan pengin kita lelang di-bazaar,” jawab Aya sembari merapikan blazer-nya berwarna hijau tosca dan kemudian memangku beberapa file folder dalam genggaman.

Cinta di Atas Awan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang