PART 1

38.6K 2.5K 29
                                    

MINGGU, 28 OKTOBER 18

yuhu all, thanks banget ya buat feedbacknya di PROLOG. Love you all. met baca yo, jangan lupa sentuh vote and komennn yang buaaperrr.

PART 1

Laura sedang membuka pintu flat sewaannya ketika ponselnya berdering. Ia masuk ke dalam flat, kemudian dengan cepat meraih ponsel dari dalam tas.

"Halo, Vic," sapa Laura lembut.

"Laura, apakah kau sudah tiba di rumah? Aku sedang dalam perjalanan ke flatmu."

Suara Victor, seperti biasa, terdengar hangat dan ceria. Laura tersenyum kecil, melupakan potongan pembicaraan dengan majikannya tadi yang terasa tidak masuk akal.

"Aku baru tiba."

"Apakah kau sudah makan malam?"

Laura menggeleng sambil melepas sepatu dan meletakkannya ke rak yang ada di dekat pintu.

"Laura?"

"Ah, ya, Vic. Aku belum makan."

"Oke, kalau begitu akan kubelikan sesuatu."

Setelah berbasa-basi singkat, percakapan keduanya berakhir.

Sambil menghela napas panjang, Laura berjalan ke sofa usang di ruang tamu dalam flatnya yang sempit. Laura meletakkan tas ke meja di depannya, kemudian duduk berselonjor di sofa. Matanya terpejam dengan jemari langsing yang memijit pelan di antara kedua alisnya.

Percakapan dengan Jared tadi kembali bermain di benaknya.

Laura tidak pernah menyangka sekali pun kalau Jared akan melamarnya—dengan lamaran dingin tanpa hati pula.

Jared jelas tidak tahu Laura memiliki kekasih, dan Laura pun tidak berniat memberi tahu pria itu—kehidupan pribadinya tidak untuk dikonsumsi sang majikan. Terlepas dari ia memiliki kekasih atau tidak, lamaran Jared sungguh tak masuk di akal. Bagaimana mungkin mereka menikah hanya demi memberi Auvie Marviella Jonhson seorang ibu dan adik laki-laki?

Laura sangat mengerti Auvie membutuhkan seorang ibu, juga saudara-saudari untuk mengusir kesepiannya sebagai anak tunggal. Tapi Laura menyesal tidak bisa membantu Auvie mendapatkan semua hal tersebut. Laura tidak mungkin menikah dengan Jared. Mereka tidak saling mencintai! Jika Laura menikah, maka ia ingin menikah dengan pria yang ia cintai, juga mencintainya.

Lamaran Jared jelas tidak berdasarkan cinta—seperti yang pria itu katakan. Jared hanya menginginkan anak darinya. Menginginkan ibu untuk putri semata wayangnya. Menginginkan adik untuk Auvie. Dan sebagai balasannya, Laura mendapatkan hidup mewah dan nyaman.

Sambil menghela napas berat, Laura bangun lalu melangkah ke kamar tidurnya.

Dua puluh menit kemudian ia sudah kembali duduk di sofa ruang tamu dalam keadaan yang jauh lebih segar—meski tak bisa dibilang berhasil menghapus gurat kelelahan di wajahnya. Ia sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai berupa celana pendek sepaha dan kaus santai.

Pintu flat terdengar terbuka. Sesosok tampan bertubuh tinggi nan gagah melangkah masuk.

Laura tersenyum menyambut Victor.

"Piza," kata Victor sambil menunjuk kotak kecil di tangan kanannya.

Laura duduk dengan sopan dan melempar seulas senyum manis untuk kekasihnya.

Victor meletakkan piza ke atas meja, kemudian menunduk dan mengecup bibir ranum Laura.

"Kau tampak kelelahan," komentar Victor sambil memandang Laura dengan cermat, kemudian duduk di samping wanita itu. "Apakah belum ada kabar dari wawancara terakhir?"

Laura tersenyum muram dan menggeleng lemah. Empat bulan lalu perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, dan sejak saat itu Laura sudah mencoba mencari pekerjaan lain. Tapi tingginya tingkat persaingan di kota New York membuatnya sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Itulah yang membuatnya mau tidak mau menjadi pengasuh. Ia butuh uang. Biaya hidup di kota metropolitan seperti New York sangatlah tinggi.

Tapi seiring waktu berjalan, Laura mengakui ia menikmati pekerjaannya. Bahkan, ia menyayangi gadis kecil yang diasuhnya.

Awal-awal menjadi pengasuh Auvie, Laura masih berusaha mencari pekerjaan lain, tapi semua wawancara yang telah diatur tak mampu ia penuhi karena tidak bisa meninggalkan Auvie sendirian di rumah. Akhirnya Laura berhenti mencari pekerjaan lain, dan Victor tidak tahu akan hal tersebut. Kekasihnya itu masih berpikir hingga saat ini Laura hanya belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai.

"Aku menyesal tidak bisa membantumu, Sayang. Andai saja kau mau bekerja di restoranku."

Laura tersenyum lembut. Victor beberapa kali menawarkan posisi pembukuan di restorannya, tapi Laura menolak. Ia tidak mau karena dirinya, Mrs. Kanedy, wanita paruh baya yang telah sekian lama menempati posisi itu, harus dipindahkan ke bagian lain, atau bahkan kehilangan pekerjaan. "Tidak apa-apa, Sayang. Omong-omong, kau beli piza rasa apa?" tanya Laura mengalihkan topik pembicaraan sambil membuka kemasan piza.

"Seperti biasa. Kesukaanmu, Sayang, dengan banyak ham dan sosis."

Laura tertawa kecil. Senang karena Victor begitu perhatian.

Lalu keduanya makan sambil sesekali bercerita.

***

bersambung...

minta vote dan komen ya kawan2, thanks.


The Boss's Proposal - REPOSTWhere stories live. Discover now