"KAU?!"
"Ada perlu apa kau datang ke sini?" Viko menatap seseorang bertudung hitam di depannya dengan tatapan sinis, cukup menjelaskan bahwa kehadiran orang itu sangat menganggunya.
Orang itu tertawa meremehkan, "Ck! Viko," ejek pria itu sambil geleng-geleng kepala.
"Mau sampai kapan kau bertingkah seperti bocah ingusan? hm?" Orang itu memasukan kedua tangannya pada saku jaket hitamnya sambil menyunggingkan bibirnya.
"Pergilah atau aku akan-"
"Akan apa? Memanggil temanmu yang konyol itu?"
"Kubilang pergi! Atau aku akan menghajarmu di sini."
"Wah, wah, wah! Viko kecil sudah besar ternyata." Orang itu bertepuk tangan meremehkan, sengaja membuat Viko yang sedari tadi mengepalkan tangannya kuat, semakin geram dibuatnya.
"SIALAN-"
"Viko!" Suara Justin terdengar dari dapur begitu mendengar keributan di luar.
Orang bertudung itu dengan cepat memakai masker hitamnya dan pergi menembus dinginnya hujan di malam hari. Viko menatap punggung orang itu yang semakin jauh dan menghilang di tengah keramaian.
"Siapa yang datang?" tanya Justin dengan membawa secangkir kopi hangat untuk menemaninya di musim hujan. Viko memasang wajah datarnya seolah tidak mau jika temannya itu mengetahui sesuatu.
"Tidak ada siapa-siapa, hanya bocah iseng." Viko berlalu meninggalkan Justin yang masih celingak-celinguk.
"Kau tidak membuatkanku kopi juga?" Viko yang mengira bahwa temannya itu menyiapkan secangkir kopi di mejanya, menatap Justin dengan tatapan seperti hatinya berkata 'teganya.'
"Tidak usah berisik. Aku memasak air lumayan banyak, tinggal kau seduh kopinya. Jangan jadi anak manja." Justin menyesap kopinya yang panas seraya menatap jalanan yang basah akibat hujan lewat kaca toko yang transparan.
•••
"Nah, sudah selesai!" ujar Avelina riang sambil memasukkan belalang daun yang sudah lemas ke dalam sebuah toples bening.
Tugas kelompok biologi mereka sudah selesai, mereka memilih belalang daun sebagai objek penelitian mereka. Setelah menghabiskan waktu kurang lebih tiga hari pergi ke salah satu hutan di dekat pintu masuk Kota Quartvest, akhirnya tugas mereka selesai juga.
"Dimana pipet tetesnya?" tanya Serly yang tengah membersihkan peralatan praktikum kelompok mereka.
Renata celangak-celinguk, "Tadi dibawa Viko."
"Aduh cepatan, dong! Aku pengin pulang," ujar Renata, gadis itu sibuk menata rambutnya yang tidak sengaja terkena sarang laba-laba, "Di sini banyak nyamuk."
Avelina menghela nafas, "Dimana Viko?" tanya Avelina begitu menyadari salah satu anggotanya tidak ada.
Alven hanya mengedikan bahu acuh, pria dingin itu cukup membuat Avelina kesal daritadi. Sedangkan Renata masih saja sibuk dengan dirinya sendiri.
"Entahlah," sahut Alven yang sedang menyalin hasil pengamatan Biologi ke buku tulisnya.
"Astaga, dimana anak itu?"
Serly berhenti dari kegiatannya manakala mendapat panggilan dari ponselnya. Gadis itu mengeryit bingung begitu tahu siapa yang menelponnya.
"Halo?"
Serly mengerutkan dahinya, "Halo? Viko, kau dimana?"
Semua memusatkan perhatiannya kepada Serly, Avelina menghampiri gadis itu sambil berkata, "Dimana dia?" Entah kenapa Avelina mempunyai firasat yang buruk.
"Hei! Viko? Halo? Kau kenapa?"
Serly melihat ponselnya, sambungan teleponnya terputus. "Halo?" ulangnya lagi, tetapi tidak ada jawaban.
"Kenapa dengan Viko?" tanya Avelina penasaran sekaligus khawatir.
"Dia bilang ...." Serly menggantung ucapannya, "dia dalam bahaya."
•••

KAMU SEDANG MEMBACA
IMAGINATION - New Revision
FantasyKetidakpercayaannya pada sebuah keajaiban malah membawa Avelina Evangelin masuk ke dalam dunia tidak masuk akal. Takdir seolah memilihnya untuk melanjutkan suatu misi yang tidak pernah berhasil di suatu dimensi lain. Siapa sangka, jika orang-orang...