17) Connection

22 4 43
                                    

Waktu terus berjalan, tidak terasa semua kejadian aneh sudah terjadi terlalu jauh walaupun tidak ada yang menyadarinya.

Avelina berjalan menyusuri lorong sekolah yang sudah sepi. Gadis itu harus pulang lebih lama satu jam dari jam pulang sekolah demi latihan panahannya. Tampaknya latihan kali ini lebih lelah dibanding sebelumnya karena dia harus mengasah kemampuan memanahnya yang sudah tumpul sejak satu tahun lalu.

Tiba-tiba seseorang menepuk pelan bahu Avelina, sontak Avelina menoleh dan mendapati temannya yang tengah mengemut permen. Beruntungnya Avelina punya sahabat seperti Naomi, karena sahabatnya yang seharusnya sudah dari tadi pulang rela menunggunya di kantin sekolah selama satu jam. Avelina tersenyum singkat.

Naomi mengerti dan bertanya, "Kau kenapa?"

"Tidak apa-apa," ujar Avelina menunduk lesu sambil terus berjalan menuju gerbang sekolah.

Belum sempat sampai gerbang, indra pendengaran Avelina menangkap suara seseorang memanggil namanya. Gadis itu menoleh mencari sumber suara.

Seorang pria jangkung menghampiri mereka, langkahnya santai tetapi wajahnya dingin. Avelina memasang wajah datarnya sebaik mungkin. Sedangkan, Naomi menatap dengan kesal dia jengah pria itu. Siapa lagi yang bisa membuat Naomi yang ceria bisa seperti itu kalau bukan Justin.

"Aku ingin bicara padamu." Pria itu berkata datar saat sampai tepat di depan mereka.

Avelina yang merasa bahwa dirinya yang sedang diajak bicara mendadak gugup karena tatapan Justin padanya. Bahkan, keberadaan Naomi pun seolah tidak membuat Justin menoleh.

"Bi-bicara?"

Justin mengangguk sama sekali tidak ada ekspresi. Naomi yang merasa sahabatnya itu tidak berdaya langsung mengambil alih.

"Kalau mau bicara, bicara langsung saja. Apa susahnya?" Naomi menyeletuk. Justin mengabaikannya, menoleh pun enggan.

"Aku hanya ingin bicara padamu. Empat mata," kata Justin sekali lagi penuh penekanan, matanya tetap tertuju pada Avelina.

Dengan kesal, Naomi langsung menarik tangan Avelina menjauh dari Justin lalu meninggalkannya.

"Ayo Avelina, kita pulang!"

Avelina menuruti Naomi yang terus menarik tangannya walaupun hatinya seperti menahan untuk tetap tinggal dan mengikuti Justin.

Saat sudah berjalan lumayan jauh dari gerbang sekolah, Avelina menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang seolah mencari jawaban dari perkataan Justin. Namun sayangnya pria itu sudah tidak ada. Naomi enggan menoleh bahkan gadis itu terus mempercepat langkah kakinya. Avelina dan Naomi memiliki pertanyaan yang sama di benak mereka masing-masing—sebenarnya apa yang ingin Justin bicarakan?

"Kalau begini caranya kapan bisa selesai?" Justin berdecak, dia berdiri di balik pos satpam dekat gerbang sambil memandang dua gadis yang sedang berjalan cepat.

Avelina dan Naomi berjalan beriringan, Naomi masih menggandeng tangan sahabatnya itu erat sekali seolah takut kehilangan.

"Avelina, sebaiknya kau jaga jarak dengan Justin mulai hari ini." Naomi melarang tegas hampir menyerupai perintah. Baru kali ini Avelina melihat Naomi seserius itu, tidak seperti biasanya.

Avelina mengangguk. Setelah hening beberapa saat, dia pun mengalihkan pembicaraan, "Oh iya! Kita ke Kedai Kopi Fantasi, yuk! Sudah lama kita tidak kesana."

Air wajah Naomi berubah seperti biasanya. "Ayo! Kau yang traktir, 'kan?"

Avelina mencubit perut Naomi pelan, "Iya-iya."

"Asik!"

•••

Seorang pria sedang berdiri di tengah lapangan sekolah. Pria itu menggenggam bola basket, tatapannya fokus menuju ring basket di bagian sisi lapangan, sedang mengukur jarak. Pria itu menembakkan bola basketnya dan bola itu tepat masuk ke ring.

Pria itu langsung menoleh dikala mendengar ada langkah kaki mendekatinya.

"Bagaimana?" tanya pria itu.

"Sepertinya sulit."

"Aku tidak menyangka gadis itu yang terpilih menjadi imajiner ke sembilan."

"Entahlah. Semua pasti ada alasannya Viko. Bagaimana keadaanmu sekarang?"

Viko meneguk sebotol air mineral yang dibelinya tadi. "Sudah membaik. Nyatanya aku berhasil menembakkan bola basket tepat masuk ke ring."

"Bodoh."

Viko tertawa kecil. "Lalu bagaimana selanjutnya, Justin?"

Justin berjalan menghampiri bola basket yang masih menggelinding di permukaan lapangan yang rata. Pria itu mengambil bola itu dan mengambil ancang-ancang untuk menembakkan bola itu ke ring basket lalu Justin mengubah haluannya dan langsung menembak bola basket itu masuk ke tong sampah di ujung lapangan.

"Hei!" seru Viko.

"Kita coba cara lain. Masih banyak cara yang terpenting tetap tepat sasaran," kata Justin yang langsung melengos pergi meninggalkan Viko yang masih memasang wajah bodohnya.

Viko langsung sadar dari lamunannya dan berlari menyusul sahabatnya itu.

"Apa yang akan kau lakukan, Justin?" tanyanya seraya menyeimbangkan langkahnya dengan Justin.

"Entahlah."

"Bodohnya dirimu," celetuk Viko asal.

"Lebih bodoh mana dengan orang yang mencoba mencekik sahabatnya sendiri?" tukas Justin yang langsung dibalas pukulan pelan di kepalanya disusul tawa dari keduanya.

•••

Tidak terasa malam pun tiba. Sinar bulan kala itu sangat terang, cukup untuk menyinari bumi walau tidak seterang mentari. Bintang bertaburan menghiasi langit biru yang gelap.

Avelina memandang keindahan langit malam itu. Pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan perkataan Justin tadi siang. Justru, disaat dia mencoba lari dari semua yang sudah jelas nyata dihadapannya malah membuatnya semakin penasaran.

Disaat Avelina terlalu hanyut menikmati suasana pada malam itu, tanpa sadar cincin yang dia temukan di bawah kandang kelincinya kemarin, tiba-tiba bersinar di atas meja belajarnya. Namun, Avelina tidak menyadari hal itu.

Di lain sisi. Sang empunya cincin merasakan sesuatu. Seolah mempunyai ikatan dengan cincinnya yang hilang itu.

"Aku merasakannya! Cincinku tidak jauh dariku," gumam Justin yang sedang duduk di meja kasir Toko Zethura Sport.

•••

IMAGINATION - New RevisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang