12) Secret

24 5 8
                                    

"Kapan ayah pulang, Bu?"

Lauren menghiraukan pertanyaan putrinya yang entah sudah berapa kali itu, wanita itu pergi ke dapur lalu duduk di meja makan sambil mengupas satu buah pisang.

Avelina terus mendesak, "Bu."

Lauren memijit pelipisnya sambil mengunyah pisang, "Astaga, Avelina. Sudah berapa kali Ibu bilang, Ibu tidak tahu. Mungkin nanti malam. Memangnya ada apa, sih?"

Avelina duduk di hadapan Lauren dengan pasrah. Tidak mau menyerah, dia pun berkata, "Coba hubungi ayah, Bu, tanyakan kapan ayah pulang."

Lauren menyerah, wanita itu pun mengambil benda pipih dari tas jinjingnya lalu mencari nama suaminya di kontak. "Nih, tanya langsung." Lauren menyodorkan ponselnya kepada Avelina.

Avelina menerima ponsel itu, suara sambungan telepon masih mencoba menyambung sebelum akhirnya suara ayahnya terdengar.

"Halo, Ayah?"

"Ya, halo? Ini Avelina? Ada apa, Nak?"

Avelina mendadak kikuk, David masih seperti biasanya. "Eh, anu. Kapan Ayah pulang?"

Dari seberang telepon, David tertawa, "Kenapa tumben sekali. Ayah pulang agak malam. Memangnya ada apa?"

"Ah, tidak apa-apa."

Ada jarak hening sebentar sebelum David bersuara, "Ya, sudah. Kalau tidak ada lagi, Ayah ingin kembali bekerja, ya. Tolong berikan ponselnya pada ibu, Ayah ingin bicara."

Avelina memberikan isyarat pada Lauren, wanita itu mengambil alih ponsel.

"Ya?"

"Oke, baiklah," tutup Lauren kemudian.

"Ayah bilang apa?"

"Sebelum pulang ayah akan mampir ke rumah Paman Sandi, ayahmu akan pulang terlambat," kata Lauren sambil berlalu menuju wastafel.

"Paman Sandi?"

Ibu mengangguk sebagai jawaban, lalu kembali ke meja makan sambil membawa kantung plastik "Ibu tadi membawakanmu nasi kucing."

Wajah Avelina segar seketika, dengan cepat dia mengambil satu bungkus nasi kucing, membuka bungkusnya lalu mulai menghabiskannya.

"Kalau makan pelan-pelan," tegur Lauren saat melihat putrinya tersedak.

•••

Seorang wanita berusia tiga puluhan sedang mengangkat pakaian dari tempat jemuran, wanita itu menengadah ke langit yang sesekali menampakkan kilat petir.

"Ah, Avelina!" sapa wanita itu saat melihat seorang gadis mengetuk pagar rumahnya.

"Iya, Bi," jawab Avelina, gadis itu terengah-engah sehabis berlari.

"Ayo masuk," titah wanita itu sambil membuka pagar.

"Maaf Bi Agatha, Avelina menganggu. Avelina mau bertanya apakah ayah tadi kesini?"

Bi Agatha mengerutkan dahinya. "Ayahmu? Tidak. Ayahmu tidak kemari, Avelina."

Tidak kesini? Lalu ayah pergi kemana?

"Memangnya ada apa?" Bibi Agatha bertanya.

"Eh? Tidak apa-apa, Bi. Aku hanya mencari ayah, ingin meminta ayah mengantarkanku ke perpustakaan, jadi Avelina datang kesini. Karena ayah bilang sepulang kerja ayah akan mampir ke rumah Paman Sandi." Avelina menjelaskan.

"Oh. Ya, sudah kalau begitu. Ayo masuk dulu, kebetulan bibi memasak sup kacang merah. Paman Sandi juga ada di dalam," ajak Bi Agatha.

Avelina mendadak gelisah, "Terima kasih tawarannya Bi, tetapi maaf Bi, sepertinya lain kali saja Avelina main ya, Bi. Avelina ingin pulang dulu, mungkin ayah sudah di rumah."

"Oh oke, Avelina. Rumah Bibi selalu terbuka untukmu." Bi Agatha tersenyum.

Avelina tersenyum kikuk, gadis itu jadi merasa tidak enak hati, "Baik Bi, Avelina permisi dulu. Salam untuk Paman Sandi ya, Bi," pamitnya kemudian kepada istri dari pamannya itu.

"Iya, hati-hati ya."

Avelina berhasil keluar dari cluster perumahan Sandi—pamannya. Gadis itu menarik nafas, merasa sia-sia datang ke sana yang nyatanya David tidak di sana.

Ayah apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?

Avelina memutuskan untuk pulang ke rumah, dia berjalan pasrah. Jarak rumahnya dengan rumah pamannya lumayan jauh sehingga Avelina harus menghabiskan satu jam perjalanan untuk sampai ke rumah.

Sesampainya di depan rumah, benar sekali mobil David sudah terparkir dengan rapi di garasi.

Avelina mengatur nafas seraya memejamkan mata. Dia menarik kenop pintu dengan pelan. Avelina melihat kedua orang tuanya sedang berada di ruang TV sambil tertawa-tawa.

"Ah, Avelina. Sini!" Lauren memanggil seraya menepuk-nepuk sofa di sebelahnya.

David yang mendengarnya pun juga ikut menoleh. Mereka bertemu pandang, David tersenyum hangat kepada putrinya.

Avelina tersenyum kikuk, gadis itu menghampiri kedua orang tuanya, lalu memilih duduk di seberang mereka.

Lauren terpekur sesaat, lalu bersuara, "Avelina, ada yang ingin Ibu dan Ayah bicarakan padamu," katanya lembut, air wajahnya berubah serius.

Avelina tahu ranah pembicaraan ini sepertinya bukan hal bagus. Dia melirik David yang juga sedang menatapnya tetapi pria itu malah menunjukkan senyumnya yang menenangkan.

"Avelina, Ayah dan Ibu akan memindahkanmu untuk sekolah di Singapura."

"A-apa?" Avelina melongo, gadis itu terkejut.

"Avelina, dengarkan dulu. Ini demi kebaikanmu. Ayah mendapat tanggung jawab baru sekarang dimana Ayah akan selalu ditugaskan ke luar kota. Sudah pasti Ibu juga selalu ikut bersama Ayah. Tidak mungkin kami juga meninggalkanmu terus di rumah, kamu pun juga tidak bisa ikut karena punya tanggung jawab untuk belajar dan sekolah. Karena itu kamu akan pindah sekolah ke Singapur. Ibu rasa itu solusi yang baik, sayang. Kamu juga tidak akan sendirian, kamu akan tinggal di rumah Bibi Fany. Ibu sudah membicarakan ini pada Bi Fany, dan beliau setuju bahkan sangat setuju dan—"

"Tanpa menanyakan persetujuanku terlebih dahulu, begitu?" Avelina memotong cepat sebelum terbakar emosi. Gadis itu berdiri dari sofa mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya tanpa sadar mulai berair, dia sendiri tidak tahu kenapa. Hatinya terasa sesak.

"Avelina, Ayah dan Ibu juga sudah mempertimbangkan ini semua, sayang. Ini demi kebaikanmu." David berdiri hendak memeluk putri tunggalnya.

"Sebenarnya apa yang Ayah sembunyikan?" Avelina bertanya gamblang, air matanya berhasil turun dengan deras menghentikan apa yang ingin dilakukan David.

David mundur lalu menatap istrinya, mereka saling pandang.

Avelina merasa malu sekaligus kecewa, akhirnya teriakan itu lolos dari mulutnya, "Rahasia apa yang Ayah tahu?!"

Teriakannya berhasil membuat kedua orang tuanya bungkam, David menutup mata menahan emosi, Lauren sudah melotot tidak percaya menyaksikan putrinya berani berteriak di depan wajahnya.

"Rahasia? Apa yang kau bicarakan, Avelina?!" Lauren emosi. "Pergi ke kamarmu!" bentak Lauren kemudian.

Avelina menatap tajam kedua orang tuanya, dia menjambak rambutnya frustrasi lalu pergi meninggalkan mereka ke kamarnya.

Dari bawah, Lauren dan David mendengar bantingan pintu yang keras. Mereka hanya bisa menarik nafas.

"Ini semua salahmu, David," lirih Lauren disusul isakan kecilnya.

David membisu, pria itu menghampiri istrinya, dan memeluknya, "Maafkan aku."

•••

IMAGINATION - New RevisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang