14) Competition

28 5 19
                                    

Avelina berlari tergesa-gesa menuju kelas. Dia merasa lega karena tidak ada siapapun, jam istirahat masih belum habis.

Avelina merogoh tasnya, mencari sesuatu. Gadis itu mengeluarkan Buku Imajinasi dari ransel dan meletakannya di atas meja. Dia sempat celingak-celinguk memastikan lagi tidak ada orang di sekitarnya. Setelah dirasa keadaan sudah aman, Avelina mulai membuka kembali buku itu.

Avelina mengambil beberapa kesimpulan. Pada lembar kedua, terdapat gambar yang sama dengan apa yang dia bayangkan, seolah buku itu dapat membaca pikirannya. Walaupun gambar pada lembar ketiga dan keempat adalah hal di luar dugaannya tetapi gadis itu yakin Buku Imajinasi itu menggambarkan kejadian nyata yang terjadi di sekitarnya belakangan ini. Banyak hal yang masih belum dia ketahui.

Avelina membuka lembar kelima yang masih kosong dan berpikir keras sambil memejamkan mata, membayangkan sesuatu. Dia berharap hal serupa terjadi seperti pada lembaran kedua.

Aneh, batinnya. Avelina mengeryit tidak mengerti saat melihat halaman itu kosong. Padahal gadis itu sudah bersusah-susah berimajinasi.

Tiba-tiba seseorang masuk ke kelas mengejutkannya, "Kau disini rupanya, Vel," kata Deva menghampiri meja Avelina, Avelina buru-buru memasukkan Buku Imajinasinya ke dalam tas.

"Aku tidak ada waktu untuk meladenimu, Dev," acuh Avelina hendak berlalu.

"Hei, dengar dulu. Aku tidak ingin mengganggumu, aku hanya ingin menyampaikan kalau kepala sekolah tadi memanggilmu ke kantor."

"Kepala sekolah?"

"Hmm." Deva berjalan, menepuk pundak Avelina sebentar, kemudian berjalan keluar.

Avelina terpaku sebentar, "Ini pertanda buruk," gumamnya.

Gadis itu berjalan tanpa arah, beberapa kali tidak sengaja menabrak orang. Dia terus memikirkan apa yang telah dilakukannya di sekolah sehingga membuatnya bisa dipanggil ke ruang kepala sekolah.

"Velin!"

Sontak Avelina menoleh mendapatkan Naomi yang sedang berlari ke arahnya.

"Ada yang ingin kuceritakan." Wajah Naomi merona girang. "Kau mau kemana?"

Avelina menarik nafas, "Ceritanya nanti saja. Aku dipanggil kepala sekolah."

Naomi membelalakan matanya. "Kepala sekolah?" Avelina mengangguk sebagai jawaban.

"Apa yang telah kau lakukan?"

Avelina berdecak, "Mana aku tahu. Sudah, ya. Aku harus cepat," ujar Avelina meninggalkan Naomi.

"Tunggu! Aku ikut."

•••

Avelina mengetuk pelan pintu kaca berkusen silver yang terdapat papan bertuliskan 'Ruang Kepala Sekolah'.

"Permisi."

"Masuk!" tegas seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk di balik komputernya.

Avelina tersenyum kikuk. "Ma-maaf, Bu, saya dipanggil ke sini. Ada apa, ya?"

Wanita itu meninggalkan kesibukannya, lalu menurunkan sedikit kacamatanya menatap Avelina, "Duduk." perintahnya sambil menunjuk kursi dengan dagu.

Avelina menghampiri kursi di depan meja Ibu Salma-Kepala sekolahnya-dia sedikit tersandung kaki kursi, sangking gugupnya. Ibu Salma yang melihat itu hanya menatap Avelina datar.

"Jadi begini Avelina, kau pasti tahu insiden yang terjadi tempo hari?" tanya Ibu Salma memastikan seraya melipat kedua tangannya di atas meja. Avelina mengangguk ragu.

"Hal yang tak terduga terjadi di sekolah dan merenggut nyawa salah satu siswa, Dio Abimanyu." Ibu Salma melanjutkan. Avelina yang mengingat itu langsung tertunduk.

Avelina juga menangkap helaan nafas dari kepala sekolahnya itu. "Saat itu, Dio sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba panahan yang akan diadakan di festival tahunan kota bulan depan. Sekolah mengirimnya untuk menjadi perwakilan. Namun takdir berkata lain. Ibu tidak bisa membatalkan perwakilan siswa dari sekolah kita untuk mengikuti lomba itu, jadi ...," kata Ibu Salma menggantung, "Ibu akan mengirimmu untuk mengikuti lomba itu, Avelina," tutupnya kemudian yang langsung disambut pelototan terkejut Avelina.

"Apa? Aku?" Gadis itu menunjuk dirinya sendiri.

Avelina tidak bisa, gadis itu jelas tidak siap. Walaupun dulunya dia adalah mantan anggota ekskul panahan tetapi keahliannya masih seumur jagung. Semenjak naik ke kelas sebelas, Avelina memutuskan untuk keluar dari ekskul tersebut. Lalu sekarang, tiba-tiba gadis itu ditunjuk sebagai perwakilan lomba.

Sungguh tidak masuk akal, pikirnya.

"Maaf, Bu. Saya bukan anggota panahan lagi. Saya juga belum terlalu mahir dalam memanah. Bukankah ada teman-teman Kak Dio dari anggota panahan yang lebih layak dari saya?"

"Ibu tahu Avelina tetapi setelah dipikir-pikir. Kebanyakan anggota panahan sekarang sudah duduk di kelas dua belas, mereka harus fokus untuk ujian dan juniornya banyak yang tidak minat untuk mengikuti lomba itu. Maka dari itu, Ibu memilihmu sebagai mantan anggota panahan sekolah." Kepala sekolahnya itu menjeda sebentar untuk mellihat reaksi muridnya itu.

"Lagi pula, masih ada waktu tiga minggu lagi untuk berlatih. Pak Dandi akan mengajarimu. Ibu akan memberikan surat dispenmu setiap dua jam terakhir sebelum pulang sekolah untuk berlatih dengan Pak Dandi," Ibu Salma melanjutkan sambil tersenyum lembut. Avelina sempat terkejut melihat Ibu Salma tersenyum, Ibu Salma yang terkenal tegas dan jutek begitu kata teman-temannya.

"Tetapi aku—"

"Ini bukan permintaan, Avelina." Ibu Salma berkata tegas. "Lagipula, kau tidak mau 'kan mengecewakan Almarhum Kak Dio?"

Setelah lama tidak ada pembicaraan apapun, dengan terpaksa Avelina menyetujuinya. Gadis itu akan mengikuti lomba panahan di festival tahunan kota.

Senyum lega kepala sekola itu tercetak seketika, setelah berbincang sebentar, akhirnya Avelina izin pamit untuk keluar ruangan yang langsung dihujam pertanyaan oleh sahabatnya yang sedari tadi menunggunya di luar.

"Ada apa? Apa yang Ibu Salma bicarakan padamu?" tanya Naomi seraya mensejajarkan langkah kakinya dengan Avelina yang berjalan dengan cepat. Avelina hanya memutar bola matanya sambil terus berjalan, mood-nya sedang tidak baik hari ini.

"Avelina? Hello? Kau dengar aku tidak?" Naomi mengibaskan tangan di depan wajah Avelina.

Avelina sempat menghela nafas sebelum akhirnya mengatakan, "Aku ditunjuk untuk mengikuti lomba panahan di festival tahunan kota menggantikan Kak Dio."

"Apa?!"

Avelina sempat ragu mengambil keputusan itu. Sebenarnya dia sempat berpikir, seberapa pentingkah lomba panahan itu sampai tidak bisa dibatalkan? Apalagi hari duka cita atas meninggalnya Kak Dio belum lepas seminggu.

•••

"Apa kau sudah menemukannya?"

"Belum, tapi saya akan berusaha lagi untuk mencarinya," jawab seorang pria nampak lesu.

"Kau harus cepat menemukannya. Waktunya sudah tidak lama lagi, ingat kita tidak tahu bagaimana keadaan kakakmu di sana."

"Ya, semoga dia baik-baik saja."

•••

IMAGINATION - New RevisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang