23) Protected Area

31 3 0
                                    

Pintu rumah diketuk pelan dua kali membuat seorang wanita yang berumur sekitar tiga puluhan menghentikan aktivitasnya di dapur.

"Avelina, buka pintunya. Sepertinya di luar ada tamu!" Wanita itu berseru memanggil putrinya seraya menengok ke lantai dua.

Mendengar pintu masih diketuk, wanita itu akhirnya membuka sendiri pintu rumahnya.

"Iya?" tanyanya begitu dia melihat siapa yang berada di hadapannya.

Seorang pria muda berdiri mematung sedangkan tangannya bergerak-gerak gelisah, sesekali matanya menengok ke luar pagar rumah yang dia kunjungi itu.

"A-apa Avelinanya ada, Tante?"

Lauren memicingkan matanya melihat pria muda itu, matanya melihat dari atas hingga ke bawah membuat yang diamati menjadi panas dingin.

Setelah ini akan kuhabisi kau, Justin, batin pria itu.

"Kau siapa?"

"S-saya, saya teman sekelas Avelina. Nama saya, Viko. Ada tugas kelompok matematika tadi, jadi saya berniat untuk mengajak Avelina mengerjakan tugas kelompok di rumah saya kabetulan juga teman satu kelompok yang lain juga sudah berkumpul, jadi ...," putusnya saat melihat wanita yang sudah berumur kepala tiga itu mendekatkan wajahnya.

"Apa ...," ucapnya berhenti, "kau kekasihnya Avelina?"

"Eh?" Viko terkejut bukan main, dia sampai hampir jatuh terjengkang ke belakang jika saja tangannya tidak cepat meraih pondasi kayu rumah Avelina.

Lauren malah terbahak melihat reaksi konyol yang katanya teman anaknya itu, "Ah, maaf-maaf. Saya hanya bercanda."

Viko bergeming, lalu ikut tertawa canggung. Rasanya dia ingin segera pergi.

"Avelina belum pulang, dia bilang sepulang sekolah akan bermain ke rumah temannya dulu. Ke rumah Naomi."

"O-oh. Naomi ya, Tante." Viko mengangguk-ngangguk, "Ya sudah, Tante. Kalau begitu, saya pulang dulu. Teman-teman yang lain sudah menunggu," pamitnya berbohong.

Lauren mengangguk lalu tersenyum, "Nanti akan kusampaikan pada Avelina setelah dia pulang,"

Viko gelagapan, bisa gawat jika Avelina tahu. "Ah! Tidak usah, Tante. Nanti saya saja yang ke rumah Naomi."

"Oh, oke. Baiklah."

Viko menundukan tubuhnya untuk pamit, pria itu bergegas keluar dari halaman rumah Avelina. Viko menghampiri sahabatnya yang sedang duduk santai di sebuah warung yang tidak jauh dari rumah Avelina.

Justin langsung tersedak minumannya saat seseorang menabok punggungnya kasar.

"Sialan," umpatnya saat tahu itu ulah temannya. "Bagaimana?"

"Lebih baik kau mati saja." Viko merajuk sambil membuka kaleng kerupuk.

"Dia di rumah Naomi," kata Viko masih sibuk menguyah kerupuk putih berlubang.

"Ya sudah, besok saja kalau begitu." Justin menganguk. "Apa ... Naomi dan Avelina itu teman dekat?" tanya Justin penasaran.

"Ya. Mereka cukup dekat." Viko menatap Justin aneh, "Kenapa memangnya?"

"Tidak apa-apa."

•••

DUAR

"Kembang api?" tanya Avelina bingung saat melihat kembang api di langit yang masih ada sang mentari, "Di siang hari?"

Semua orang berbondong-bondong untuk berkumpul ke lapangan yang berada di tengah pemukiman itu, mereka semua bersorak termasuk Carlos yang entah sejak kapan sudah berada di depan bersama kawanannya, Pasha mengekorinya.

David melihat putrinya, dia pun menjelaskan, "Mereka menyambut kelahiran seorang bayi pangeran."

"Pangeran?" Avelina bingung. David mengangguk dan memberi kode kepada putrinya untuk mengikuti rombongan.

Avelina berjalan pelan, dia sendiri masih tidak mengerti tetapi dia memilih untuk percaya saja pada ayahnya. Gadis itu mengekori David. Avelina takjub, matanya menjelajah liar ke sekitar menandakan bahwa dirinya sungguh terkesan dengan pemukiman kuno yang saat ini sedang mereka lewati, sebuah bangunan berbatu dengan tumbuhan rambat, sungguh klasik. Lalu mereka memasuki sebuah hutan dengan pepohonannya yang tinggi.

Setelah kurang lebih 20 menit berjalan melewati sungai bahkan lumpur akhirnya mereka sampai. Sebuah hamparan luas menyambut mereka, mata Avelina berbinar sempurna manakala melihat rumput hijau yang memenuhi tanah lapang itu, kalau saja di tempat itu tidak banyak orang rasanya dia ingin berlari dan tidur-tiduran di rumput yang kelihatannya segar itu.

Avelina, Pasha dan David sedang berada di tempat perkemahan bersama yang lainnya juga. Avelina baru sadar bahwa perkemahan itu adalah perkemahan yang dia lihat tadi, gadis itu menengok ke atas melihat tebing yang tadi gadis itu pijak. Kemudian, Carlos dan beberapa temannya yang lain mengantar Avelina ke tenda besar.

David yang memimpin jalan mereka, Pasha juga berjalan di sebelahnya sedangkan Avelina berjalan paling belakang. Mata gadis itu melihat sekeliling, ada banyak sekali tenda, tenda-tenda cokelat itu menghiasi lapangan hijau. Ada banyak orang yang berpakaian kurang lebih sama dengan jenis pakaian yang di kenakan si anak aneh itu, Carlos. Orang-orang di situ tersenyum kepada Avelina, Avelina kikuk. Dia hanya mengangguk sebagai tanda kesopanan.

"Aduh!" Avelina mengaduh saat tubuhnya menabrak seseorang.

"Eh maaf, Kak." Carlos menyengir lebar yang dibalas dengusan Avelina.

David dan Pasha sudah masuk lebih dulu ke tenda besar itu, Avelina melihat ada beberapa penjaga di depan tenda itu. Dia meringis karena tidak berani masuk.

"Ehm, Carlos?" Avelina memanggil Carlos yang sedang menyisir rambut dengan tangannya.

Carlos terkejut, "Eh? Iya, Kak?"

"Sebenarnya, ini tempat apa?"

"Oh." Pemuda itu menarik nafas sebentar lalu berkata, "ini adalah kawasan perkemahan di Hutan Lindung Dimensi."

Avelina bingung, dia jadi semakin penasaran. "Apa itu, Hutan Lindung Dimensi?"

"Kawasan terlindung. Hutan ini adalah satu-satunya tempat paling aman dari musuh, hutan ini berharga dan menyimpan banyak rahasia. Kerajaan menggunakan hutan ini sebagai area yang paling aman karena disinilah tempat menyimpan Headband Ima—" Carlos menabok mulutnya sendiri sampai membuat Avelina berjengit.

"Astaga!" Carlos panik. "Apa yang aku lakukan?" Dia menjabak rambutnya sendiri.

"Hei, ada apa?"

"Ah, bukan apa-apa." Carlos bergerak gelisah.

Avelina melihat tingkah Carlos yang aneh, dia berkata, "Tadi kau bilang apa?"

Carlos semakin gelagapan. "Ah, lupakan saja. Tadi itu aku terinspirasi dari dongeng kesukaanku. Aku suka sekali sampai aku berbicara ngawur seperti itu. Hahaha iyaaa ... tadi itu aku hanya mengada-ngada, Kak."

Avelina melongo menatap anak itu, Carlos langsung mengambil kesempatan itu untuk segera pergi, "Oh, iya. Aku harus pergi."

Mengada-ngada, katanya? Dia pikir aku bercanda? Dasar anak aneh. Avelina menggerutu sebal dalam hati.

"Avelina! Ayo masuk. Kenapa kau berdiam diri disitu?" panggil David yang sudah berada di hadapan Avelina, gadis itu mengikuti ayahnya masuk ke dalam tenda.

•••

IMAGINATION - New RevisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang