18) Complicity

28 4 14
                                    

Hari minggu yang cerah. Sinar matahari masuk melalui celah tirai jendela, menyilaukan gadis yang sedang tidur nyenyak di kasurnya.

Gadis itu terbangun, selain karena matanya yang silau terkena cahaya matahari pagi menjelang siang, dia juga mendengar ibunya memanggil namanya terus dari luar kamar.

"Iya, Bu!" seru Avelina.

Avelina jalan terseok-seok ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi. Karena baginya, hari libur adalah libur mandi.

Lauren mengelus dadanya saat melihat putrinya keluar dengan gontai. Wanita itu mengelus kepala Avelina, "Ayo, sarapan."

Avelina mengekor Lauren menuju dapur. Aroma rendang langsung menyengat saat memasuki dapur, Avelina sempat menelan ludah menahan lapar.

"Wah, Ibu hari ini masak banyak sekali!" Avelina menggosok-gosok tangannya saat melihat berbagai macam hidangan di meja makan.

"Iya, tentu saja. Hari ini, Ibu juga libur. Biarlah sekali - kali masak sebanyak ini." Lauren tersenyum sambil meletakkan piring di hadapan Avelina.

Tidak lama setelah itu, David turun dari tangga dan menyusul istri dan putrinya yang sedang berada di ruang makan.

"Wah-wah! Ada apa ini?" David bertanya girang.

"Ayo, kita sarapan." Lauren menarik kursi untuk David.

Avelina terdiam di tempat duduknya. Gadis itu sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. 

Saat makan, tidak ada pembicaraan seperti biasanya diantara keluarga kecil itu. Avelina yang biasanya selalu cerewet mendadak bisu, Lauren yang biasanya selalu ceria entah kenapa terlihat lebih murung, sekali tersenyum, senyumnya malah terlihat seperti dipaksakan. David, tetap bersikap apa adanya.

David berdeham mencoba mencairkan suasana. Lauren merespon, wanita itu menatap suaminya. Avelina hanya memandang orang tuanya sebentar dan kembali sibuk dengan makanannya walaupun tampak tidak bersemangat.

David berpikir sejenak. Melihat putrinya yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja membuatnya mengurungkan niat untuk membicarakan tentang kepindahan putrinya itu ke Singapura.

"Masakanmu lezat," kata David tersenyum getir. Lauren menatap suaminya seolah tahu bukan itu yang ingin dibicarakan.

Sarapan pagi itu tidak berlangsung lama walaupun tidak ada pembicaraan sedikitpun. Selesai sarapan, David pergi ke ruang tamu sedangkan Avelina dan Lauren membereskan meja makan.

"Bu?"

"Hmm?" jawab Lauren yang sedang sibuk menyuci piring di wastafel.

"Ehm, mengenai pindah ke Singapur—"

"Ayah dan Ibu sudah membatalkan rencana itu." Lauren memotong cepat tanpa menoleh.

"Benarkah?" Avelina senang, mata cokelatnya berbinar-binar. Lauren mengangguk.

Syukurlah.

"Avelina."

Avelina menoleh, Lauren menatapnya dengan tatapan tidak terbaca sebelum berkata, "Jika kau tidak ingin terkena api, janganlah mencoba bermain dengan api. Sekalipun api ada disekitarmu dan menggodamu janganlah sekali-kali kau mencari tahu." Setelah itu Lauren berlalu, meninggalkan Avelina yang termenung.

"Apa maksud Ibu?"

Setelah selesai bersih-bersih rumah di hari minggu pagi, Avelina pergi menuju kamarnya. Dia melemparkan tubuhnya ke kasur, memandang langit-langit kamarnya.

Apa sebenarnya maksud perkataan ibu?

Terlalu banyak yang Avelina pikirkan. Semua keanehan yang terjadi padanya belakangan ini membuatnya merindukan kehidupannya yang normal seperti dulu.

Avelina menyadari bahwa semua hal aneh yang terjadi di sekitarnya itu pasti ada hubungannya dengan Buku Imajinasi yang dia temukan di perpustakaan.

Avelina mengambil buku ajaib itu dari tasnya dan mulai membuka lembaran demi lembaran kembali. Belum ada yang berubah sejak terakhir kali Avelina membuka Buku Imajinasi itu.

Saat lama membolak-balik lembaran kertas, sedetik kemudian terdengar suara ketukan di pintu kamar Avelina.

"Avelina?" panggil David seraya terus mengetuk pintu pelan.

Dengan segera Avelina memasukkan Buku Imajinasi itu ke dalam lemari meja belajarnya.

"Masuk saja Ayah. Pintunya tidak dikunci."

David membuka pintu kamar Avelina pelan. Sebelum masuk, pria itu sempat bergurau mengetuk pintu kembali walaupun pintunya sudah dibuka. Avelina tersenyum kaku.

David masuk ke dalam kamar Avelina dan sempat memandangi sekitar seolah baru memasuki ruangan yang baru. Avelina hanya diam memperhatikan ayahnya.

David menghela nafas panjang. Pria berumur hampir empat puluh tahun itu berjalan menghampiri foto yang terpajang rapi di atas meja di sudut kamar lalu mengambilnya.

"Ada apa, Ayah?"

David tidak menjawab. Pria itu terus memandangi foto gadis kecil dengan gaun biru yang sedang bermain ayunan di taman. David sempat tersenyum saat mengingat putrinya yang masih berumur enam tahun kala itu.

"Ayah?" tanya Avelina lagi menyadarkan David dari lamunannya.

"Maaf." David meletakkan kembali foto putrinya.

"Ada apa?"

Saat David ingin berbalik, tidak sengaja matanya menangkap cahaya. Pria itu mencari sumbernya, begitu melihat benda yang mengeluarkan sinar itu, David terkejut.

"Darimana kau temukan cincin ini?" tanya David serius sambil menunjuk cincin keemasan yang Avelina temukan di bawah kandang kelincinya.

"Eh! I-itu ... Aku menemukannya di kandang kelinciku tempo hari."

"Sejak kapan?"

Avelina tidak mengerti, "Maksud Ayah?"

"Sejak kapan cincin ini bersinar, Avelina?" tanya David kesal. Avelina sempat terkejut melihat perubahan emosi ayahnya itu.

"A-aku tidak tahu, Ayah. Aku juga baru melihat cincin itu bersinar saat Ayah memegangnya tadi."

David terlihat gelisah. Pria itu mondar-mandir seolah berpikir. Sampai akhirnya berkata, "Dimana Buku Imajinasi itu?"

"A-apa?!"

•••

IMAGINATION - New RevisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang