Suasana berubah mencengkam. Ruangan sangat hening, bertolak belakang dengan rahasia yang akan diungkapkan kali ini membuat ruangan serasa seperti di dunia yang berbeda. Dua orang tampak saling berpandangan, ayah dan anak itu tidak ada yang memulai pembicaraan. Salah satunya seperti menuntut suatu penjelasan.
"Ayah? Jadi apa sebenarnya yang terjadi?" tanya sang anak, tidak sabar.
David bersuara sambil mengangkat Buku Imajinasi, "Buku ini ...." Pria itu menjeda sebentar, "Buku ini ajaib."
Avelina mendengkus, "Aku sudah tahu itu, Ayah. Memangnya setelah apa yang aku lewati di hari belakangan ini tidak membuatku mengerti bahwa buku ini memang ajaib? Yang benar saja." Avelina frustrasi hingga tidak sadar sedang berbicara dengan siapa.
"Yang ingin aku tahu. Ada apa dengan buku itu, kenapa setiap kali keadaan yang terjadi di sekelilingku selalu tergambar di Buku Imajinasi yamg awalnya kosong itu. Apa maksudnya, Ayah?" Avelina tidak sabar.
David menghela nafas kasar, "Karena kau adalah Imajiner ke sembilan."
Avelina mengeryit, "Imaji apa?"
"Imajiner ke sembilan. Buku takdir menunjukmu melanjutkan misi Imajiner yang terakhir." Wajah David berubah gusar.
Avelina menatap David serius. David khawatir, padahal dia berharap semua hal yang berhubungan dengan Dunia Imajinasi tidak melibatkan keluarganya. Namun sepertinya takdir berkata lain. Mau tidak mau, pria itu harus menjelaskan sedikit yang dia tahu. David berharap kali ini, misi yang akan dijalankan putrinya nanti akan berhasil.
"Besok, sepulang sekolah. Ayah akan menjemputmu," kata David. Pria itu hendak beranjak tetapi berhenti begitu ada yang menahannya.
"Ayah, aku butuh penjelasannya sekarang." Avelina memohon.
David melembut. Pria itu mengusap puncak kepala Avelina. "Ayah akan menjelaskan semua yang Ayah tahu besok setelah kau pulang sekolah. Disini tidak aman. Besok Ayah juga akan membawamu ke suatu tempat."
"Disini tidak aman?" Avelina tidak mengerti. Setelah melihat ayahnya pergi, bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Dia jadi teringat mahluk yang pernah ditemuinya waktu itu.
Mata Avelina teralihkan, begitu menangkap sinar itu lagi. David memintanya untuk menyimpan cincin itu sampai menemukan pemilik aslinya.
Siapa pemilik aslinya?
Avelina melangkah pelan. Gadis itu mengambil benda bundar kecil itu. Mengamatinya lekat. Sesekali matanya berkedip tidak siap menerima sinar terang dari cincin itu.
"Sungguh, semua ini membuatku bingung," gumamnya lagi. Gadis itu mencoba memasang cincin itu ke jari manisnya.
"Indah." Avelina tersenyum sambil memandang jarinya.
Tolong, kakak.
"Siapa itu?" Avelina beranjak dari kasur. Avelina barusan mendengar suara entah dari mana.
Buru-buru, Avelina melepas cincin itu dan meletakkannya di meja. Gadis itu langsung melangkah cepat keluar kamar.
Di sisi lain.
Masih di dunia yang sama, di balik kegelapan tanpa ada penerangan. Seorang pria masih berseragam putih abu-abu yang sudah kotor tercampur tanah dan bercak darah. Pria itu tengah di pukuli oleh segerombolan mahluk, bukan mahluk biasa. Bentuk tubuh mereka aneh. Mahluk-mahluk itu telah membuat seorang pria terluka parah.
"Ternyata kau lebih bodoh dari kakakmu." Salah satu mahluk mendesis mengerikan. Tubuhnya sangat kurus, berkaki panjang.
Pria itu hanya tersenyum kecut. Tidak ambil pusing. Merasa diremehkan mahluk itu mengeluarkan kekuatannya yang membuat pria itu kembali terjerembab ke tanah.
"Sudah kubilang jika kau terus menghalangi jalan kami. Maka kau akan bernasib sama dengan kakakmu." Kali ini mahluk lain yang berbicara. Mahluk gendut berkepala kecil, mempunyai suara yang lantang.
"Se-setidaknya, aku tidak pengecut seperti dulu. Yang bersembunyi ...." Pria malang itu terbatuk sebentar lalu melanjutkan, "Dibalik bayang-bayang kakakku. Aku akan melindungi Imajiner—"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Pria itu sudah ditendang kali ini benar-benar dengan kaki kurus si mahluk kaki panjang.
"Sudahlah, jangan buang tenaga dan waktu kita untuk meladeni bocah lemah sepertinya. Sebaiknya kita pergi," kata mahluk gendut berlendir hijau yang mempunyai mata yang sipit.
"Sedih sekali melihat keadaanmu sekarang, ternyata tanpa cincin itu kau tidak ada apa-apanya."
Akhirnya mereka pergi. Menghilang seperti dibawa angin, meninggalkan seseorang yang sedang terluka di dalam kegelapan.
"To-tolong ...," lirih pria itu sebelum akhirnya pandangannya mengabur.
•••
Sekolah masih tampak sepi walaupun tersisa lima belas menit lagi untuk bel berbunyi. Sepertinya hari sabtu biasa menjadi alasan kesiangan. Tidak bagi seorang gadis yang sedari tadi tengah duduk di kursi pinggir lapangan, tas ranselnya belum lepas dari bahunya padahal dia sudah datang satu jam sebelum masuk sekolah.
Sudah menjadi kebiasaan Avelina, jika datang ke sekolah terlalu pagi gadis itu akan menunggu di lapangan terlebih dahulu. Kebiasaan itu muncul sejak Avelina bertemu mahluk aneh, kaki kurus dan panjang yang dia lihat di depan kelasnya beberapa minggu yang lalu. Sejak saat itu, Avelina berjanji tidak akan menapakkan kakinya di kelas sebelum sekolah sudah benar-benar ramai.
Setelah dirasa sekolah sudah mulai ramai, Avelina beranjak dari kursi berbalik menuju kelasnya. Saat mendekati koridor tidak sengaja matanya menangkap seseorang yang tengah memperhatikannya dari lantai dua, seolah matanya memang diundang untuk memandang kesana. Wajahnya tidak asing, Avelina susah mengenali karena orang itu mengenakan masker dan topi. Avelina mengalihkan pandangannya, takut dikira ke-geer-an. Gadis itu melanjutkan langkahnya.
Setelah Avelina pergi, orang bermasker itu melepaskan topi dan maskernya. Terlihat sudut bibirnya sobek dan ada lebam berwarna ungu pekat di sekitar matanya. Wajahnya kacau.
Seseorang menepuk bahunya pelan, "Apakah kau yakin akan mengikuti KBM dalam keadaanmu seperti itu? Bagaimana kau akan menjelaskan jika ada yang bertanya?"
Orang itu tidak menggubris temannya. Dia memakai maskernya kembali dan berlalu menuju kelas.
"Hei, Justin! Kau mau kemana?"
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAGINATION - New Revision
FantasiKetidakpercayaannya pada sebuah keajaiban malah membawa Avelina Evangelin masuk ke dalam dunia tidak masuk akal. Takdir seolah memilihnya untuk melanjutkan suatu misi yang tidak pernah berhasil di suatu dimensi lain. Siapa sangka, jika orang-orang...
