16) Ring In The Dark

26 3 21
                                        

Kadang yang terlihat tidak sepenuhnya kebenaran, tetapi yang seharusnya tidak terlihat tidak sepenuhnya kebohongan.

Hujan sudah sepenuhnya membasahi Kota Quarvest. Menjadi pusat kota, membuat kota itu tidak pernah sepi sekalipun sudah larut malam padahal hujan bisa menjadi alasannya. Namun, tidak untuk pusat kota terbesar. Quarvest City. Tidak jarang toko-toko di kota itu pun masih buka hingga tengah malam, seperti salah satu toko olahraga di dekat persimpangan jalan utama, Zethura Sport Shop.

Zethura Sport Shop. Berbagai macam alat olahraga tertata rapi di dalam rak kaca yang tampaknya sangat bersih pasalnya seorang pria, salah satu pegawai toko tersebut seringkali membersihkan kaca toko.

"Sudah bersih, Justin. Gosok saja terus kacanya sampai pecah," sarkas seorang pria dengan name-tag Viko itu.

Sedangkan yang diajak bicara masih saja sibuk dengan kain lap dan lemari kaca yang terus saja digosok-gosok.

Merasa bosan Viko pergi ke dapur. Pria dengan kaus putih itu membongkar isi lemari berharap menemukan bungkus kopi yang masih ada isinya dan bisa menikmati secangkir kopi di malam hari untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Bagi Viko, bekerja selama sepuluh jam dan hanya memiliki satu teman kerja yang juga teman satu sekolahnya adalah hal yang sangat menyenangkan.

Beruntungnya, Viko menemukan dua bungkus kopi hitam, cukup untuknya dan Justin menahan kantuk hingga dua jam ke depan sampai toko tutup.

Viko merebus air, dituangnya ke panci, sambil menunggu, dia mengambil ponsel dari saku celana abu-abunya yang belum diganti dari sekolah. Kemudian, mulai memutar musik dan bersenandung pelan.

Justin melihat sekilas ke meja kasir, sadar bahwa temannya tidak disana pria itu menyudahi acara bersih-bersihnya lalu menghampiri temannya di dapur.

Justin berjalan pelan menuju dapur sambil memainkan ponselnya; letak dapur toko berada di paling belakang, dimana jika dari depan harus melewati gudang terlebih dahulu.

Saat Justin berada di tengah lorong; tempat gudang berada. Justin menengadahkan kepalanya dari ponsel seraya memasukan benda pipih itu di saku jaketnya, dia terkejut dan berhenti berjalan saat melihat ruang dapur dalam keadaan gelap.

Justin mengambil kayu kaki meja yang tergeletak asal di depan pintu gudang; sebagai alat perlawanan jika ada perampok yang membobol toko untuk kedua kalinya. Justin berjalan pelan menuju pintu dapur yang terbuka. Sesaat sebelum itu, dia mengambil ponselnya kembali untuk digunakan sebagai senter. Saat Justin sudah masuk sepenuhnya di ruang dapur, senter dari ponselnya tepat menyorot wajah temannya.

Viko sedang berdiri di depan kompor menatap kosong ke arah Justin. Justin merasakan ada yang tidak beres dengan temannya itu. Justin mulai mendekati Viko untuk sekedar memukul pelipisnya barangkali Viko kesurupan, begitu pikirnya. Saat selangkah lagi dekat dengan sahabatnya itu, tiba-tiba Viko mencengkram leher Justin keras. Ponsel Justin langsung terjatuh hingga terdengar bunyi retakan. Justin mendengus; dia meringis mengetahui sepertinya keadaan ponselnya tidak baik-baik saja ditambah senter ponselnya ikut mati membuat ruang dapur sepenuhnya gelap.

"Sial." Justin mengumpat.

Viko memojokkan Justin sampai ke dinding hingga peralatan dapur termasuk pisau jatuh ke lantai yang untungnya tidak mengenai kaki Justin. Justin seolah tidak berdaya walaupun sudah menggenggam kayu yang bisa saja langsung melumpuhkan Viko. Namun, dia tahu bahwa yang berada di depannya itu bukan diri Viko yang sebenarnya.

Justin terus melakukan pertahanan tanpa perlawanan, sedangkan Viko semakin erat mencekik Justin. Perlawanan Viko tak kunjung usai, mau tidak mau Justin mengangkat kayunya yang langsung diayunkan ke tengkuk Viko.

BUG

Terdengar tubuh jatuh ke lantai. Viko ambruk seketika. Justin meraba-raba dinding; mencari saklar lampu di pojok ruangan. Setelah lampu menyala, sungguh naas keadaan dapur sangat kacau. Justin menghela nafas panjang, matanya menjelajahi dapur yang sudah seperti diporak-porandakan angin topan. Matanya sempat berhenti melihat panci berisi air di atas kompor dan dua cangkir yang berisi bubuk kopi.

Justin tertawa sekilas, "Bodoh. Untung kopinya masih aman." Lalu pria itu memapah tubuh temannya yang sudah tidak berdaya di lantai akibat ulahnya.

"Maaf Viko."

•••

"Bu! Apakah Ibu melihat toples berisi belalang yang aku letakkan di samping pot?" teriak Avelina dari teras rumahnya.

"Tidak, Vel." balas Lauren, suaranya tidak kalah keras dari dapur.

Avelina membuang nafas pelan. "Kemana lagi tuh belalang."

Sudah satu jam Avelina menyusuri halaman rumahnya tetapi belum juga menemukan belalangnya. Padahal objek itu akan dia bawa saat presentasi di sekolah.

Avelina memutuskan untuk istirahat sejenak di kursi halaman rumahnya. Diambilnya es jeruk yang sudah tersedia di kursi. Matanya tetap menjelajahi pekarangan rumah, masih berharap agar belalang itu ditemukan sebelum dia kena omelan dari anggota kelompoknya.

Matanya membelalak melihat benda yang dicarinya ditemukan di bawah kandang kelincinya.

"Kenapa bisa disitu?" gumamnya yang langsung beranjak menghampiri kandang kelinci yang tidak ada kelincinya itu; Avelina hanya memiliki satu kelinci berwarna putih yang setiap sore dia lepas dan akan kembali lagi saat malam.

Avelina mengambil toples berisi belalangnya dari bawah kandang kelinci. Gadis itu sempat tersenyum mendapati belalang itu masih hidup. Saat ingin beranjak pergi, mata Avelina menangkap sesuatu yang berkilau di tanah; tidak jauh dari dimana dia menemukan toplesnya tadi. Avelina mencoba mengambil benda itu yang sedikit terkubur tanah.

"Cincin?"

•••

IMAGINATION - New RevisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang