Bukankah ini hutan yang waktu itu.
Mobil sedan hitam membawa mereka memasuki hutan melalui jalan setapak. David menerobos paksa seolah tidak ada jalan lain.
Dari jendela mobil Avelina melihat ilalang yang tinggi terinjak oleh mobil ayahnya sehingga ilalang itu tidak tegak lagi.
"Ayah, apa tidak ada jalan lain?"
David masih tidak menjawab, pria itu hanya fokus pada jalanan yang berusaha ditembus itu. Avelina mendengus kesal.
Menuju bagian hutan yang paling dalam, walaupun Avelina dan teman-temannya pernah ke hutan itu untuk tugas biologi, tidak terpikir oleh mereka untuk masuk lebih dalam lagi hutan itu. Seolah hutan itu mengandung banyak misteri dan sangat tidak baik jika terlalu jauh mencari jawaban tersebut. Namun, apa yang dipikirkan Avelina saat ini sangat bertolak belakang dengan ayahnya yang malah berhenti di depan pohon tua yang sangat besar.
Rasanya Avelina ingin bertanya pada ayahnya kenapa mereka harus berhenti di situ. Namun, karena dari tadi David diam seribu bahasa rasanya Avelina harus menunggu ayahnya saja yang berbicara dahulu.
"Ayo," titah David mengajak Avelina lebih mendekat pohon besar tua itu.
Tidak lama setelah itu, dengan cepat sebuah anak panah menancap ke tanah tepat di depan kedua kaki Avelina berpijak. Karena terkejut Avelina sontak memeluk ayahnya. "Astaga, apa itu tadi?"
"Ini aku, Pasha. Hati-hati gunakan busurmu," seru David.
Detik itu juga, seorang pria jangkung berpijak ke tanah setelah melompat dari salah satu pohon. Avelina sontak menoleh, dia langsung terkejut mendapati pria bertelanjang dada yang hanya mengenakan celana jeans robek-robek.
"Astaga, apa lagi ini." Avelina mengumpat pelan. Gadis itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.
Pria dengan kulit sawo matang itu menghampiri David dan Avelina, tatapannya kelewat datar sampai Avelina jengah melihatnya.
"Kenapa kembali lagi, Guru?"
"Gu-Guru?" Avelina sontak menoleh pada siapa yang dimaksud pria itu.
David langsung berkata, "Kita bicara di sana saja."
Avelina menyela cepat, "Di sana? Di sana mana ayah? Tolong—"
"Tapi Guru, siapa dia?" tanya pria yang bernama Pasha itu memotong. Pria bernama Pasha itu menunjuk Avelina dengan dagunya.
Avelina mmenatap tajam Pasha. Pria itu malah menaikkan alisnya heran seolah melihat orang aneh.
"Apa dia salah satu buruanmu?" Pasha bertanya polos.
Avelina mengerjap seketika, "Bu-buruan? Hei! Jaga bicaramu, pria aneh. Siapa yang kau maksud buruan? kau yang harusnya jadi santapan karena kelihatannya dagingmu lezat untuk digerogoti burung." celetuk Avelina asal, Pasha hanya menatapnya datar.
"Dia putriku, Pasha."
Bola mata Pasha membesar, terkejut. Pria itu langsung menunduk. "Maaf, Guru. Aku tidak tahu."
Avelina mencebik. David tersenyum lalu menggandeng satu tangan putrinya yang sempat dia lipat di depan dada.
David menatap Avelina lama, menimang-nimang sebelum akhirnya tersenyum kembali. "Sudah saatnya kau harus tahu, Avelina."
"Kalau begitu jelaskan sekarang." Avelina mendesak. Gadis itu sudah tidak sabar mengulur-ngulur waktu.
"Percaya pada Ayah." Mata David meyakinkan Avelina, walau itu tidak cukup untuk membuat Avelina merasa tenang. Gadis itu tahu akan ada sesuatu yang akan membuatnya sangat terkejut bahkan mungkin di luar nalarnya.
Pasha melewati mereka dan menghampiri pohon tua besar di depan mereka.
Pasha menutup matanya, beberapa detik kemudian, punggung telanjang Pasha yang terhalang wadah busurnya mengeluarkan sinar. Avelina membelalakan matanya lebar. Gadis itu terkejut sekaligus tidak percaya melihat hal ajaib persis di depan matanya. Tidak lama, pohon tua besar itu membentuk sebuah lubang hitam besar di tengah batangnya. Avelina sontak menutup mulutnya.
Avelina serasa ingin pingsan, saat melihat Pasha masuk ke lubang hitam itu dan menghilang seolah di telan oleh pohon besar itu. Tiba-tiba David menarik pelan tangan Avelina, Avelina tersentak. David menuntunnya untuk mengikuti apa yang dilakukan Pasha tadi. Masuk ke lubang hitam itu.
Avelina nampak ragu. Dia menggenggam tangan ayahnya erat. Wajahnya pucat. Tangan David berpindah ke bahu putrinya; meyakinkan bahwa pria itu bersamanya.
"A-Ayah. Aku—"
"Bukankah, kau ingin tahu semuanya? Semuanya akan aku jelaskan, Nak. Semuanya tetapi tidak di tempat ini."
"Kita akan kemana?"
"Kita akan pergi ke dimensi lain."
Avelina menatap ayahnya. Gadis itu mencoba mencerna kalimat David barusan. Pikirannya mulai melayang-layang. Dia tidak tahu harus apa. Avelina tidak siap jika melihat sesuatu yang belum pernah dia lihat atau mendengar sesuatu yang belum pernah gadis itu dengar. Apalagi itu menyangkut orang yang dia sayangi.
"Percayalah padaku, Nak."
Bagai sihir akhirnya Avelina mengangguk mengkuti David, masih ada keraguan di dalam hatinya. Namun, Avelina mencoba untuk percaya pada ayahnya.
Perlahan David melangkahkan satu kakinya ke lubang hitam itu. David menengok kepada putrinya yang masih takut. Tangannya gemetar bahkan wajahnya penuh dengan peluh. David sebetulnya tidak tega. Namun sebagai ayah, dia harus memberi tahu semua rahasia yang selama ini terpendam. Yang berusaha David tutupi selama bertahun-tahun karena tidak ingin melibatkan keluarganya pada bahaya. Namun, keadaan yang malah memilih putri satu-satunya untuk masuk ke dalam bahaya itu.
Tidak lama mereka berdua masuk dengan sempurna ke lubang hitam besar itu; lubang hitam pekat yang seolah menyimpan banyak misteri yang tidak pernah diketahui. Lubang hitam itu menelan Avelina dan David bersamaan dengan teriakan histeris Avelina yang semakin memudar. Perlahan lubang itu mengecil dan menghilang. Hanya pepohonan yang bergemerisik yang menjadi saksi bisu tentang apa itu Lubang Dimensi Imajinasi.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAGINATION - New Revision
FantasyKetidakpercayaannya pada sebuah keajaiban malah membawa Avelina Evangelin masuk ke dalam dunia tidak masuk akal. Takdir seolah memilihnya untuk melanjutkan suatu misi yang tidak pernah berhasil di suatu dimensi lain. Siapa sangka, jika orang-orang...
