Langit cerah kala itu, sinar mentari menyapa dari balik awan. Angin tampak menari-nari menerbangkan anak rambut seorang gadis berkuncir kuda yang tengah melamun di balkon lantai dua rumahnya.
"Avelina! Ayo sarapan," panggil Lauren dari luar kamar.
Avelina mengerjap sebentar, matanya terasa kaku setelah semalaman menangis, wajahnya jadi bengkak. Dengan lesu, Avelina bangkit dari kursi kayu, lalu masuk ke dalam kamar sambil menutup pintu balkon. Gadis itu melihat jam sebentar, lalu menghela nafas begitu tahu lima belas menit lagi sudah jam masuk sekolah. Dia juga heran kenapa Lauren membangunkannya terlambat.
Sesudah mandi, Avelina mengemas tasnya, dimasukkannya buku dan peralatan tulis, tidak lupa Buku Imajinasi yang sempat terbuang di tong sampah. Gadis itu bergeming sesaat sebelum buku berwarna ungu itu masuk ke dalam ranselnya.
Dalam hati, sebenarnya Avelina malas untuk pergi ke sekolah. Dia kira karena kejadian tempo hari, sekolah akan diliburkan. Namun sepertinya sekolah tidak memperbolehkan siswanya beristirahat sebentar. Walaupun hari ini kegiatan belajar mengajar hanya setengah hari, gadis itu tetap malas datang ke sekolah.
Avelina menutup pintu kamarnya, melangkah turun tangga. Sebelumnya, dia mendengar sayup-sayup orang tengah berbincang di dalam kamar kedua orang tuanya, dia menangkap suara ayahnya. Berarti, ayah dan ibunya sedang berada di dalam kamar.
Sebelum keluar rumah untuk memakai sepatu, Avelina menangkap bayangan seseorang di dapur. Gadis itu berjalan pelan memastikan, kemudian bernafas lega begitu tahu itu ibunya.
"Avelina?" Lauren tersenyum. "Ayo kemari, sarapan dulu," lanjutnya seraya mengangkat sepiring nasi goreng ke meja makan.
"Aku tidak lapar."
"Avelina," Lauren melirih. "Jika saja kemarin kita—"
"Aku berangkat dulu, Bu. Sudah terlambat." Avelina bergegas pergi dengan wajah yang kosong. Gadis itu sungguh kehilangan mood untuk sarapan.
Avelina melangkah keluar dengan gontai. Lauren hanya bisa menghela nafas melihat putrinya. Akhirnya dia memakan nasi goreng buatannya sendiri.
Avelina berjalan sambil melamun, pandangannya kosong tetapi pikirannya kusut. Hal seputar mahluk aneh, ayahnya dan Buku Imajinasi terus berputar di dalam pikirannya. Mengingat David, dia menjadi sadar sesuatu yang sedari tadi mengganjal hatinya.
Jika tadi pagi ibu ada di ruang makan, lalu siapa yang berbicara dengan ayah di kamar?
•••
Jam istirahat sudah berbunyi sejak tadi, kantin sekolah menjadi sangat ramai. Terlihat kedua gadis bersorak riang saat mendapatkan meja di tengah keramaian.
"Ada tugas apa di jam pertama?" tanya Avelina saat bokongnya telah jatuh ke kursi. Gadis itu terlambat ke sekolah sehingga dia harus dihukum untuk membantu Ibu Mira di perpustakaan membuat Avelina harus melewati jam pelajaran pertama.
"Tugas? Tidak ada. Ibu Carla hanya menerangkan materi elektro yang sama sekali tidak aku mengerti," jawab Naomi acuh sambil menyendok bakso ke dalam mulutnya. "Kegiatan belajar mengajar juga menjadi tidak kondusif karena kejadian di halaman belakang sekolah kemarin. Kepolisian juga masih menyelidiki TKP, jadi para siswa tidak diperbolehkan berkeliling sekolah seenaknya agar tidak mengganggu proses penyelidikan dan untuk menjaga keamanan juga. Sekolah berusaha untuk merahasiakan kejadian itu dari media. Kau taulah, reputasi sekolah," jelasnya sambil mengedikkan bahu. Tidak mau ikut campur.
Avelina bergeming sesaat. Dia menganggurkan semangkuk mie ayamnya dan malah fokus melihat cara makan Naomi di hadapannya.
"Velin, apakah kau tahu isu tentang kejadian kemarin?" wajah Naomi berubah menjadi serius.
"Ada apa?"
"Mengenai Kak Dio, menurut gosip yang aku dengar. Kejadian kemarin itu bukan bunuh diri, melainkan pembunuhan." Gadis blonde itu menaikkan alisnya.
"Bukankah memang kelihatannya seperti pembunuhan. Lalu kenapa?"
Naomi menggeleng, "Tidak. Masalahnya, rumor yang aku dengar, yang membunuh Kak Dio adalah kekasihnya sendiri. Kak Chaterine."
"Kak Chaterine?"
Naomi mengangguk cepat, "Dan katanya lagi, Kak Chaterine itu sebenarnya adalah siluman. Maka dari itu ada bekas cakaran di tubuh Kak Dio. Kudengar, ada siswa yang melihat mereka bertengkar tempo hari," lanjutnya.
Avelina mengeryit, "Lalu, kau percaya hal itu?"
"Entahlah. Lagipula mana ada mahluk aneh seperti siluman? Oh, yang benar saja." Naomi tertawa kecil sambil menyesap es teh manis yang dipesannya tadi. "Itu hanya gosip. Kejadian yang sebenarnya masih abu-abu. Kita hanya bisa mempercayakan itu kepada polisi. Memangnya apa juga yang bisa kita lakukan?"
Jika saja kau melihat apa yang aku lihat di koridor waktu itu, kau akan menarik kata-katamu, Naomi, ucap Avelina dalam hati.
"Iya, kau benar. Sudah ada pihak yang berwajib mengurus kejadian itu. Kita hanya cukup mendoakan Kak Dio yang terbaik." Naomi mengangguk setuju. Mereka pun mulai menghabiskan hidangannya sebelum kantin semakin ramai.
"Avelina, sepertinya aku harus berpisah di sini. Aku ingin eum ...." Ucapan Naomi menggantung, kedua tangan kecilnya mendadak tidak bisa diam.
Avelina tersenyum penuh selidik, "Malvin?"
Naomi tertawa sumbang, dia tertangkap basah. Nyatanya, Naomi memang tidak bisa menyembunyikan apapun di depan sahabatnya itu.
"Pergilah," ujar Avelina, "Aku akan pergi ke kelas duluan."
Senyum Naomi merekah sempurna, sebelum bergegas pergi. Gadis itu memeluk Avelina erat, lalu berlari tunggang langgang. Avelina menggeleng heran, gadis itu pun lekas pergi ke kelasnya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAGINATION - New Revision
FantasíaKetidakpercayaannya pada sebuah keajaiban malah membawa Avelina Evangelin masuk ke dalam dunia tidak masuk akal. Takdir seolah memilihnya untuk melanjutkan suatu misi yang tidak pernah berhasil di suatu dimensi lain. Siapa sangka, jika orang-orang...
