Ketidakpercayaannya pada sebuah keajaiban malah membawa Avelina Evangelin masuk ke dalam dunia tidak masuk akal.
Takdir seolah memilihnya untuk melanjutkan suatu misi yang tidak pernah berhasil di suatu dimensi lain.
Siapa sangka, jika orang-orang...
"Ah! Ini dia," seru Avelina begitu menemukan Buku Imajinasi di tumpukan buku pelajarannya.
Apa aku harus menceritakan hal ini pada ibu? pikirnya. Tangannya sibuk membolak-balik buku aneh itu.
Apakah orang akan percaya jika; Hei lihat! aku menemukan buku ajaib di perpustakaan pusat kota dan kau tahu buku itu secara tiba-tiba muncul sebuah kata dan blablabla. Kau gila Avelina. Avelina tertawa kecil mendengar pikirannya sendiri.
Avelina bingung, tetapi dia juga penasaran. Gadis itu mencoba menerka-nerka jawaban dari keanehan buku itu.
Avelina hendak membuka kembali Buku Imajinasi itu tetapi ia mengurungkan niatnya.
Apa yang harus aku lakukan? Avelina menarik nafasnya panjang, gadis itu tengah berpikir, membayangkan sesuatu.
Setelah beberapa menit terdiam, Avelina mulai membuka kembali buku bersampul ungu tersebut. Dia sempat tercekat melihat tulisan di halaman pertama tetapi kemudian ia langsung menjerit saat membalik lembar selanjutnya.
Avelina menutup mulutnya spontan, beruntungnya dia, ayah dan ibunya sedang tidak ada di rumah.
Ini tidak mungkin, batinnya tidak percaya. "Ya, Tuhan. Apa ini sebenarnya?"
Lembar halaman kosong yang tadi gadis itu lihat di perpustakaan berubah menjadi halaman penuh warna; terlihat sebuah gambar hutan yang dipenuhi burung kakak tua yang bertengger di tiap dahannya, dahan berwarna cokelat gelap dengan background abu-abu. Avelina sangat terkejut karena gambar tersebut tepat seperti apa yang gadis itu bayangkan tadi, sebelum membuka Buku Imajinasi itu.
Astaga! Kenapa bisa?
•••
"Hari ini, apa kau mau ke rumahku?" tanya Naomi pada Avelina saat mereka berdua sudah di depan gerbang sekolah.
"Ah, sepertinya tidak. Sore ini aku ada acara dengan keluarga," jawab Avelina yang diangguki Naomi.
Naomi sudah bersiap menaiki jemputannya, "Baiklah. Aku pulang duluan, ya."
Avelina melambaikan tangannya saat mobil yang ditumpangi Naomi berjalan. Kemudian, gadis itu mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan pada ibunya yang kebetulan sedang online.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah mendapat jawaban dari Lauren, gadis itu berjalan menuju halte bus yang tidak jauh dari sekolahnya.
Sebenarnya dia tidak berniat berbohong dengan Naomi tetapi Avelina belum bisa menceritakan tentang Buku Imajinasi ajaib itu kepada siapapun. Jadi, Avelina mengatakan bahwa dirinya tidak bisa bermain ke rumah sahabatnya itu seperti biasa. Dia juga jadi berbohong kepada ibunya.
Maafkan aku, ibu, kata Avelina dalam hati.
Avelina melihat bus dari kejauhan yang siap untuk berhenti di halte tempatnya berdiri. Orang-orang yang sedang menunggu bus tersebut langsung berdiri, bersiap untuk berdesak-desakan masuk ke dalam bus.
Benar saja, saat bus sampai. Semua orang berdesakan masuk, tidak mau tertinggal, Avelina juga ikut menyempil di tengah-tengah kerumunan. Gadis itu sempat menahan nafas saat menabrak ketiak seorang bapak-bapak yang sedang berpegangan pada sisi bus.
"Maaf." Avelina meringis saat bapak itu melihatnya.
Avelina menghela nafasnya panjang saat mendapatkan tempat duduk. Dia mengeluarkan buku tulisnya untuk mengipas wajahnya yang sudah penuh dengan peluh.
Aku bersumpah, tidak akan pernah naik bus umum lagi setelah ini, gerutunya dalam hati.
Pemberhentian bus selanjutnya adalah halte di pusat kota. Avelina bersiap untuk turun, memang disitu tujuannya. Gadis berambut hitam legam itu sudah membawa buku bersampul ungu itu dengan rapi dan akan membawanya ke perpustakaan di pusat kota.
Gadis itu akan menemui Bibi Margareth dan menceritakan semuanya. Mungkin dengan itu dia akan mendapat informasi.
Avelina melangkahkan masuk ke perpustakaan yang tampaknya sedang ramai. Dia mencari sosok penjaga perpustakaan yang biasa berjaga di meja resepsionis. Matanya menjelajah, mengabsen setiap orang yang sedang berada di sana. Avelina tidak menemukan Bi Margareth di perpustakaan tepatnya di meja khusus untuk penjaga perpustakaan. Dia hanya melihat seorang pria tua berkacamata tengah membaca buku di meja resepsionis.
"Permisi Pak, maaf apakah Bi Margareth sedang cuti hari ini?"
Bapak itu mengalihkan pandangannya dari buku yang ia genggam dan melihat Avelina dengan alis yang bertaut.
"Oh tidak, Nak. Nyonya Margaretha sudah tidak lagi bekerja disini sejak kemarin lusa."
"Sudah tidak bekerja lagi di sini?" Avelina terkejut, bapak itu mengangguk sebagai jawaban.
"O-oh begitu ya. Uhm, apakah bapak tahu sekarang beliau bekerja dimana?"
Bapak itu berpikir sejenak, "Hmm, maaf Nak, aku tidak begitu tahu soal Nyonya Margaretha. Aku hanya menggantikan Nyonya Margaretha sejak kemarin lusa untuk menjaga perpustakaan ini, tetapi aku belum pernah bertemu dengannya."
"Begitu ya. Baik Pak, terima kasih." Bapak itu tersenyum seraya mengangguk lalu melanjutkan aktivitasnya. Avelina bergegas pergi tanpa mengetahui siapa nama bapak itu.
Pikirannya menjadi kacau. Buku ajaib misterius itu selalu menghantuinya dan dia butuh petunjuk. Banyak pertanyaan yang ada di benaknya sekarang dan Bi Margareth yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak membuatnya jadi tambah pikiran, Bi Margareth yang sudah bekerja selama 8 tahun di perpustakaan, tiba-tiba berhenti tanpa memberi tahunya. Padahal gadis itu berpikir, dirinya dan Bi Margareth sudah cukup dekat.
Avelina melangkah lesu menuju halte bus lagi. Dia merasa apa yang dia lakukan adalah sia-sia. Kemana dia harus mencari petunjuk.
Gadis itu cukup beruntung karena halte bus saat itu tidak ramai seperti tadi. Dia bisa bersantai sedikit. Cukup lama menunggu, wajah gadis itu berubah terkejut manakala mengingat sesuatu.
Astaga, aku baru ingat! Kemarin lusa? Kemarin lusa berarti tepat pada hari dimana aku menerima Buku Imajinasi itu dari Bi Margareth.